Ruang ekspresi berkebudayaan di kota banyak dikonversi menjadi ruang bisnis demi pertumbuhan ekonomi yang ekstraktif. Lewis Mumford dalam The Culture of Cities (1938) menunjukkan bagaimana ruang perkotaan semestinya bisa menjadi pusat pertumbuhan dan pemajuan kebudayaan. Dalam konteks Indonesia, pemikiran Mumford mengingatkan kita bahwa kota-kota besar di Indonesia, seperti Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, dan Makassar, harus menjadi pusat ruang interaksi budaya lokal dan global, tanpa menghilangkan akar tradisionalnya.
Kritik terhadap Kebudayaan Demokrasi dan Kebebasan BerekspresiÂ
Dalam perspektif Hilmar Farid, pemajuan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari demokrasi yang sehat dan inklusif. Demokrasi di Indonesia harus mampu memberikan ruang bagi keberagaman budaya untuk berkembang. Namun, realitas menunjukkan bahwa demokrasi sering terjebak dalam homogenisasi budaya, di mana budaya mayoritas mendominasi dan budaya-budaya lokal terpinggirkan.
Selain itu, kebebasan berekspresi, yang menjadi fondasi demokrasi, sering kali berbenturan dengan regulasi yang membatasi ruang ekspresi budaya tertentu. Di era digital, kemerdekaan berekspresi juga menghadapi tantangan berupa penyebaran narasi intoleransi dan ujaran kebencian, yang justru merusak harmoni budaya. Pandangan ini relevan dengan teori Mill yang menegaskan bahwa kebebasan berekspresi harus diiringi dengan tanggung jawab sosial untuk memperkuat keberagaman.
Irisan pandangan Hilmar Farid dan teori para pemikir dunia, dalam momentum refleksi kebudayaan arkipelagis menunjukkan bahwa pemajuan kebudayaan nusantara tidak hanya soal pelestarian, tetapi juga bagaimana budaya menjadi ekosistem dengan ruang inklusif untuk dialog dan inovasi. Kebebasan berekspresi dan demokrasi yang sehat harus menjadi alat untuk memperkuat keberagaman, bukan untuk meminggirkan atau menghapus identitas budaya tertentu. Indonesia, dengan warisan arkipelagisnya, memiliki potensi besar untuk menjadi pusat kebudayaan dunia yang dinamis dan berkelanjutan, asalkan kebijakan dan praksis kebudayaan dijalankan dengan komitmen dan kesadaran akan nilai-nilai lokal dan global.
Yogyakarta sebagai Renaisans Indonesia
Sri Sultan Hamengku Buwono X memperkenalkan gagasan Yogyakarta Renaisans Indonesia sebagai sebuah visi kebudayaan yang menjadikan Yogyakarta sebagai pusat kebangkitan peradaban Indonesia. Konsep ini lahir dari refleksi mendalam terhadap posisi Yogyakarta dalam sejarah nasional sebagai simbol perjuangan, kebudayaan, dan pendidikan.
Dalam pidatonya yang sering mengusung tema ini, Sultan menekankan pentingnya renaisans---kebangkitan kembali nilai-nilai luhur bangsa---yang berpijak pada tradisi dan budaya lokal tetapi tetap relevan dalam konteks modern. Renaisans yang dimaksud bukan hanya kebangkitan fisik atau ekonomi, tetapi lebih kepada kebangkitan jiwa, karakter, dan kesadaran bangsa terhadap akar kebudayaannya.
Kebudayaan sebagai Fondasi UtamaÂ
Sri Sultan Hamengku Buwono X menekankan bahwa kebudayaan harus menjadi landasan dalam setiap pembangunan. Dalam pandangannya, kebudayaan bukan hanya artefak masa lalu, tetapi juga cara hidup, nilai-nilai, dan panduan moral untuk menghadapi tantangan masa depan. Konsep ini sejalan dengan pandangan bahwa budaya lokal dapat menjadi sumber daya intelektual dalam membangun identitas bangsa di tengah globalisasi.
Harmoni antara Tradisi dan ModernitasÂ