Negara-negara anggota BRICS kini mewakili 45% dari populasi dunia, sementara G7 (Amerika Serikat, Jerman, Kanada, Prancis, Inggris Raya, Italia, dan Jepang) hanya mewakili 10%.
Negara-negara BRICS menyumbang 35% dari PDB global, sementara G7 hanya mewakili 30%.
Negara-negara anggota BRICS bertanggung jawab atas sekitar 50% emisi CO2 global, dibandingkan dengan sekitar 21% yang dihasilkan oleh G7.
Hal yang menarik adalah posisi Argentina yang menolak bergabung BRICS melalui pernyataan  Presiden Javier Milei yang akan mengubah negara itu ke arah pro-Barat. Sementara itu, Arab Saudi belum secara formal menyatakan bergabung ke BRICS.
Belasan negara dikabarkan diterima sebagai negara mitra BRICS, di antaranya Bolivia, Malaysia, Indonesia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, dan Vietnam.
Risiko Indonesia akibat diterimanya menjadi anggota penuh BRICS yaitu:
1. Ancaman Sanksi Ekonomi dari Amerika Serikat
Selama masa jabatannya, Trump menggunakan sanksi ekonomi terhadap negara yang dianggap berkolaborasi dengan rival AS, seperti China dan Rusia. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat dilihat sebagai keberpihakan terhadap blok non-Barat, yang akan meningkatkan risiko sanksi berupa kebijakan "tariff barrier dan non-tariff barrier", misalnya seperti pengenaan tarif tinggi atau pembatasan item perdagangan oleh AS. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Amerika Serikat konsisten menjadi salah satu tujuan utama ekspor nonmigas Indonesia, dengan pangsa pasar mencapai 10,33% pada November 2024. Â Sanksi dari AS akan dapat mengganggu akses Indonesia ke pasar penting ini, dan dapat merugikan sektor-sektor seperti tekstil, furnitur, kriya, elektronik, dan produk pertanian.
2. Isolasi dalam Diplomasi Barat
Indonesia sebagai anggota penuh BRICS bisa dianggap menantang dominasi Barat, yang akan memicu respon negatif dari AS dan sekutunya. Isolasi diplomatik dapat berdampak pada hubungan perdagangan, investasi, dan dukungan internasional dalam isu strategis seperti kedaulatan politik di Laut China Selatan.
3. Gangguan Stabilitas Ekonomi Akibat Konflik Mata Uang