Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nasib, Pilihan, dan Takdir dalam Perspektif Teori Sosial

3 Desember 2024   06:06 Diperbarui: 3 Desember 2024   06:08 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi dari medium.com)

Pilihan sebagai Kebebasan dalam Keterbatasan

Pilihan adalah elemen penting dalam kehidupan manusia, karena melalui pilihan, individu dapat memengaruhi nasib mereka. Jean-Paul Sartre (1905--1980), seorang filsuf eksistensialisme, menekankan pentingnya kebebasan dalam membuat pilihan. Dalam bukunya, Being and Nothingness (1943), Sartre menulis, "Manusia dikutuk untuk bebas; dikutuk karena, begitu dilemparkan ke dunia, dia bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dia lakukan."

Pandangan Sartre menggarisbawahi bahwa meskipun manusia tidak bisa memilih kondisi awal hidupnya (nasib), mereka memiliki kebebasan penuh untuk memilih bagaimana merespons keadaan tersebut. Pilihan, menurut Sartre, adalah esensi dari eksistensi manusia. Namun, kebebasan ini juga membawa tanggung jawab besar, karena setiap pilihan akan membawa konsekuensi.

Di sisi lain, Max Weber (1864--1920), dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905), melihat pilihan sebagai produk dari keyakinan dan nilai-nilai budaya. 

Weber berpendapat bahwa etos kerja dan pilihan-pilihan individu dalam masyarakat Barat modern dipengaruhi oleh ajaran agama Protestan, yang menekankan tanggung jawab pribadi dan kerja keras. Pilihan, dalam pandangan Weber, tidak hanya dipengaruhi oleh kebebasan individu, tetapi juga oleh norma-norma sosial yang diwariskan dari generasi sebelumnya.

Takdir, Antara Kepastian atau Kemungkinan

Takdir adalah konsep yang sering kali dipahami sebagai hasil akhir yang tidak dapat diubah. Bagi Niccol Machiavelli (1469--1527), dalam bukunya The Prince (1532), takdir atau fortuna adalah kekuatan luar yang tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh manusia. Namun, Machiavelli percaya bahwa manusia dapat memanfaatkan keberanian dan kecerdasan mereka untuk mengatasi takdir sejauh mungkin. "Separuh dari tindakan kita ditentukan oleh keberuntungan, tetapi separuh lainnya ada dalam kendali kita," tulisnya.

Pandangan ini mencerminkan pendekatan pragmatis terhadap takdir. Meskipun ada elemen dalam hidup yang tidak dapat diubah, manusia tetap memiliki peran aktif dalam membentuk jalannya kehidupan.

Berbeda dengan Machiavelli, Friedrich Nietzsche (1844--1900) menolak konsep takdir sebagai sesuatu yang pasif. Dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra (1883--1885), Nietzsche memperkenalkan gagasan amor fati atau "cinta pada takdir." 

Nietzsche mendorong manusia untuk menerima takdir mereka dengan sepenuh hati dan melihat setiap pengalaman, baik buruk maupun baik, sebagai bagian penting dari kehidupan. "Aku ingin belajar lebih mencintai takdirku," tulis Nietzsche, "karena itu adalah takdirku sendiri."

Nietzsche melihat takdir bukan sebagai sesuatu yang membelenggu, melainkan sebagai tantangan yang harus diterima dengan sikap penuh semangat. Melalui penerimaan ini, manusia dapat mencapai kebebasan sejati dan menciptakan makna dalam hidup mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun