Tulisan ini saya buat untuk PILKADA 2020 dengan penyesuaian data untuk PILKADA 2024. Konteks substansi demokrasi yang secara umum tidak berubah selama 4 tahun, menunjukkan betapa Indonesia tidak mengalami kemajuan dalam pembangunan demokrasi substantif.
Sebut saja biaya politik untuk jabatan Gubernur bisa mencapai ratusan Milyar Rupiah, dan biaya politik untuk jabatan bupati atau walikota bisa mencapai belasan sampai puluhan Milyar. Bagaimana logika kita dengan biaya politik yang tinggi tersebut para pemenang PILKADA mengembalikan "investasi" mereka?
"Para pejabat publik yang menggunakan kekuasaan secara buruk dan memiliki latar belakang dipilih bukan secara partisipatif, hanya akan melahirkan penguasa dan bukan pemimpin. Munculnya penguasa dan bukan pemimpin merupakan suatu paradox demokrasi. Demokrasi seharusnya melahirkan partisipasi rakyat dalam suatu negara untuk memilih pemimpin dan bukan mobilisasi kekuasaan bagi para politisi".
Bangsa Indonesia menjelang 100 tahun Indonesia Merdeka, belum sepenuhnya menjunjung tinggi substansi Demokrasi Pancasila sebagai sebuah sistem demokrasi yang bermartabat dalam praksis kehidupan politik. Kita selama ini bicara tentang demokrasi tanpa kita memahami dan menghayati substansi maknanya.Â
Penggunaan pendekatan kekuasaan dan kekerasan dalam memecahkan persoalan bangsa, jelas bukan merupakan ciri masyarakat demokratis namun sebaliknya adalah cara-cara dalam sistem absolutisme.Â
Ironis, bahwa dalam retorika demokrasi di Indonesia, iklim pendekatan pragmatisme kekuasaan masih terus terjadi. Salah satu pembenaran terhadap situasi demikian tadi adalah bahwa Indonesia sedang berada dalam proses transisi demokrasi dari absolutisme ke demokrasi prosedural menuju ke demokrasi substantif. Â
Kenneth Minogue (2013) Â meneliti keberadaan dan perkembangan demokrasi barat, menyebutkan bahwa rendahnya kecerdasan mentalitas kolektif yang dia sebut sebagai "pikiran budak" telah berkontribusi dalam merendahkan substansi demokrasi.Â
Salah satu kritik cukup pedas adalah pernyataan Minogue dalam bukunya "A Pathology of Democracy", menyebutkan : "Sebuah aliran realisme yang terus-menerus terjadi dalam sebuah sistem demokrasi menunjukkan gejala bahwa setiap sistem demokrasi pada akhirnya adalah oligarki kekuasaan. Para pejabat dan politisi, sebagai pengontrol agenda dan retorika dalam diskusi publik, benar-benar menentukan apa yang terjadi.
Kita melihat banyak persoalan bangsa Indonesia yang menunjukkan keadaan bahwa demokrasi kita sedang bermasalah. Salah satu gejala sakitnya demokrasi kita adalah bahwa kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sering dianggap hanya sebagai legitimasi kekuatan politik absolut.
Demokrasi Prosedural dan Praktik Politik Recehan
Pemilu sebenarnya hanya sebuah prosedur demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan secara elektoral. Para penguasa politik sering memiliki pemahaman bahwa jika sudah berhasil mendapatkan legitimasi dalam politik elektoral maka mereka menganggap sebagai pemimpin demokratis. Pemahaman seperti itu tentu masih jauh dari substansi demokrasi yang kita harapkan yaitu melahirkan kepahlawanan dan sekaligus negarawan. Â
Demokrasi prosedural yang hanya berpusat pada proses politik elektoral sebagai dasar legitimasi demokrasi, seringkali dikontraskan dengan demokrasi substantif atau partisipatoris, yang memusatkan partisipasi dari semua kelompok masyarakat untuk terlibat dalam proses politik sebagai dasar legitimasi, sebagaimana ditulis oleh Kaldor Mary (27 Mei 2014) dalam sebuah paper "Democracy in Europe After The Elections". Â
Walter Reynolds (1327) mengajukan tuntutan terhadap Raja Edward II dalam sebuah khotbah berjudul "Vox populi, vox Dei ", sejak itu frasa tersebut semakin populer dalam politik di Inggris. Frasa itu kemudian digunakan dalam sebuah traktat Whig dengan judul Vox Populi, Vox Dei ('suara rakyat adalah suara Tuhan') yang dicetak ulang dan selanjutnya ditulis oleh Robert Ferguson atau Thomas Harrison (1709-1710) sebagai The Judgment of whole Kingdoms and Nations.
Alih-alih menguatkan demokrasi Pancasila sebagai sebuah demokrasi yang bermartabat, sebagian besar para politisi di Indonesia terkesan justru mengesampingkan prinsip kejujuran dan keadilan. Politik elektoral dianggap sebagai pusat dari demokrasi, sehingga sering justru mencederai substansi demokrasi yang intinya adalah kedaulatan rakyat.Â
Kedaulatan rakyat perlu diwujudkan dalam partisipasi aktif untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan. Politik elektoral semestinya hanya merupakan pintu masuk dan cara menentukan pendapat dalam demokrasi serta seharusnya berada dalam dimensi politik kebangsaan.Â
Gejala sakitnya demokrasi juga bisa dilihat pada munculnya politik elektoral yang manipulatif untuk memenangkan konstituen politik. Penguasa politik yang menggunakan basis konstituen elektoral dari hasil  manipulasi dan politik uang akan menampilkan kepemimpinan yang korup dalam suatu sistem politik recehan.Â
Manipulasi dukungan melalui praktek politik recehan justru saat ini melahirkan satu frasa yang sekaligus kritik pada praktek demokrasi prosedural yaitu "Vox Populi, Vox Argentum" atau suara rakyat adalah suara recehan. Kekuasaan politik yang diperoleh karena manipulasi akan memunculkan manipulasi berikutnya oleh kelompok elit politik dengan segala permasalahannya.
Politik Recehan dalam PILKADA 2024
Pilkada 2024 akan dilaksanakan di 37 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, dengan total anggaran Pilkada 2024 untuk KPU mencapai Rp 28,76 triliun serta untuk Bawaslu Rp 8,63 triliun. Jumlah pemilih Pilkada 2024 mencapai 207.100.768 jiwa, dengan 103.228.748 jiwa laki-laki dan 103.882.020 jiwa perempuan.
Biaya politik yang tinggi di Indonesia, membuat sebagian besar calon kepala daerah didanai sponsor atau cukong.Â
Wakil Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),Nurul Ghufron (2020), dalam diskusi virtual bertema "Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi" yang digelar oleh Pusako FH Universitas Andalas secara virtual, Jumat (11/9/2020), menyampaikan ada sekitar 82 persen calon kada (kepala daerah) didanai oleh sponsor, dan tidak murni didanai oleh pribadinya. Hal Itu menunjukkan adanya aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah.
Biaya politik yang tinggi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah budaya "mahar politik".Â
Para kandidat kepala daerah harus merogoh kocek yang dalam untuk "mahar politik", dan akan lebih mahal lagi jika didukung oleh lebih banyak partai politik. Biaya politik lainnya terkait dengan anggaran belanja logistik kampanye, membiayai mesin parpol, tim sukses, relawan, konsultan politik, dan lembaga survei.Â
Kondisi demikian membuat banyak para kandidat kepala daerah mencari "mitra" untuk mendanai biaya politik yang tinggi. Tingginya biaya politik ini membuat idealisme politik jauh berkurang. Frasa bahasa latin yang lebih pantas untuk menggambarkan kondisi politik demikian tadi adalah "Fox Populi, Fox Argentum", atau suara rakyat adalah suara recehan. (TA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H