Pemilu sebenarnya hanya sebuah prosedur demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan secara elektoral. Para penguasa politik sering memiliki pemahaman bahwa jika sudah berhasil mendapatkan legitimasi dalam politik elektoral maka mereka menganggap sebagai pemimpin demokratis. Pemahaman seperti itu tentu masih jauh dari substansi demokrasi yang kita harapkan yaitu melahirkan kepahlawanan dan sekaligus negarawan. Â
Demokrasi prosedural yang hanya berpusat pada proses politik elektoral sebagai dasar legitimasi demokrasi, seringkali dikontraskan dengan demokrasi substantif atau partisipatoris, yang memusatkan partisipasi dari semua kelompok masyarakat untuk terlibat dalam proses politik sebagai dasar legitimasi, sebagaimana ditulis oleh Kaldor Mary (27 Mei 2014) dalam sebuah paper "Democracy in Europe After The Elections". Â
Walter Reynolds (1327) mengajukan tuntutan terhadap Raja Edward II dalam sebuah khotbah berjudul "Vox populi, vox Dei ", sejak itu frasa tersebut semakin populer dalam politik di Inggris. Frasa itu kemudian digunakan dalam sebuah traktat Whig dengan judul Vox Populi, Vox Dei ('suara rakyat adalah suara Tuhan') yang dicetak ulang dan selanjutnya ditulis oleh Robert Ferguson atau Thomas Harrison (1709-1710) sebagai The Judgment of whole Kingdoms and Nations.
Alih-alih menguatkan demokrasi Pancasila sebagai sebuah demokrasi yang bermartabat, sebagian besar para politisi di Indonesia terkesan justru mengesampingkan prinsip kejujuran dan keadilan. Politik elektoral dianggap sebagai pusat dari demokrasi, sehingga sering justru mencederai substansi demokrasi yang intinya adalah kedaulatan rakyat.Â
Kedaulatan rakyat perlu diwujudkan dalam partisipasi aktif untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan. Politik elektoral semestinya hanya merupakan pintu masuk dan cara menentukan pendapat dalam demokrasi serta seharusnya berada dalam dimensi politik kebangsaan.Â
Gejala sakitnya demokrasi juga bisa dilihat pada munculnya politik elektoral yang manipulatif untuk memenangkan konstituen politik. Penguasa politik yang menggunakan basis konstituen elektoral dari hasil  manipulasi dan politik uang akan menampilkan kepemimpinan yang korup dalam suatu sistem politik recehan.Â
Manipulasi dukungan melalui praktek politik recehan justru saat ini melahirkan satu frasa yang sekaligus kritik pada praktek demokrasi prosedural yaitu "Vox Populi, Vox Argentum" atau suara rakyat adalah suara recehan. Kekuasaan politik yang diperoleh karena manipulasi akan memunculkan manipulasi berikutnya oleh kelompok elit politik dengan segala permasalahannya.
Politik Recehan dalam PILKADA 2024
Pilkada 2024 akan dilaksanakan di 37 Provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, dengan total anggaran Pilkada 2024 untuk KPU mencapai Rp 28,76 triliun serta untuk Bawaslu Rp 8,63 triliun. Jumlah pemilih Pilkada 2024 mencapai 207.100.768 jiwa, dengan 103.228.748 jiwa laki-laki dan 103.882.020 jiwa perempuan.
Biaya politik yang tinggi di Indonesia, membuat sebagian besar calon kepala daerah didanai sponsor atau cukong.Â
Wakil Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),Nurul Ghufron (2020), dalam diskusi virtual bertema "Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi" yang digelar oleh Pusako FH Universitas Andalas secara virtual, Jumat (11/9/2020), menyampaikan ada sekitar 82 persen calon kada (kepala daerah) didanai oleh sponsor, dan tidak murni didanai oleh pribadinya. Hal Itu menunjukkan adanya aliran-aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah.