Sistem pendidikan Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam mengembangkan peserta didik yang mandiri, kritis, dan kreatif. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sistem saat ini masih sangat berfokus pada ujian standar dan hafalan. Transformasi pendidikan yang mengintegrasikan prinsip kebebasan belajar Ki Hajar Dewantara, pedagogi kritis Freire, pemikiran tingkat tinggi Bloom, dan kecerdasan majemuk Gardner sangat penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih holistik dan adaptif.
Sistem pendidikan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi tuntutan abad ke-21. Tokoh pendidikan seperti Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire, Benjamin Bloom, dan Howard Gardner menawarkan kerangka kerja untuk pendidikan transformatif yang mendorong pemikiran mandiri, kritis, dan kreatif.Â
Namun, pendekatan tradisional di Indonesia yang didominasi oleh ujian standar dan kurikulum yang kaku telah banyak dikritik karena membatasi perkembangan peserta didik. Data terbaru dari Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan penurunan skor Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains dibandingkan tahun 2018. Tulisan ini merupakan analisis sistem pendidikan Indonesia dari perspektif para tokoh tersebut, dengan mengintegrasikan data statistik untuk menyoroti tantangan dan potensi perbaikan.
Perspektif TeoretisÂ
1. Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan untuk Kebebasan
Filosofi Ki Hadjar Dewantara menekankan "merdeka belajar", di mana peserta didik diberdayakan untuk tumbuh sebagai pemikir mandiri. Prinsip "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" menggambarkan peran pendidik sebagai teladan, pemberi semangat, dan pendukung. Namun, pendidikan Indonesia yang masih sangat bergantung pada ujian nasional dan kurikulum terpusat dapat menghambat pertumbuhan individu yang diharapkan Dewantara. Sebuah survei tahun 2024 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 70% guru merasa tertekan untuk lebih memprioritaskan persiapan ujian dibandingkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Tekanan ini bertentangan dengan prinsip Dewantara yang menghargai keunikan individu dan pengaruh budaya lokal.
2. Paulo Freire: Pendidikan sebagai Alat untuk Membangun Kesadaran Kritis
Paulo Freire mengkritik banking model dalam pendidikan, di mana peserta didik hanya menerima informasi tanpa keterlibatan kritis. Pendidikan di Indonesia sering mencerminkan model ini, dengan pendekatan yang didominasi oleh guru (teacher-centered), yang membatasi kemampuan siswa untuk mengembangkan kesadaran kritis (conscientization) yang diinginkan Freire. Misalnya, survei 2023 oleh Aliansi Siswa Indonesia mengindikasikan bahwa 65% siswa sekolah menengah merasa tidak terlibat dalam diskusi kelas. Skor PISA Indonesia yang rendah juga mencerminkan kurangnya keterlibatan kritis ini: skor membaca Indonesia turun dari 371 pada 2018 menjadi 359 pada 2022, menunjukkan perkembangan keterampilan literasi kritis yang minim. Perspektif Freire mendukung pendekatan pendidikan yang lebih dialogis dan memberdayakan untuk menciptakan warga yang kritis dan partisipatif, sebuah tantangan yang masih dihadapi di Indonesia.
3. Benjamin Bloom: Pemikiran Tingkat Tinggi dalam Pendidikan
Taksonomi Bloom dan perkembangan ilmu kognitif memainkan peran penting dalam pendidikan abad ke-21. Taksonomi Bloom, dikembangkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956, memberikan kerangka kerja yang membantu pendidik memahami tingkatan berpikir siswa. Taksonomi ini awalnya mencakup enam tingkatan: pengetahuan (menghafal fakta), pemahaman (memahami makna), aplikasi (menggunakan informasi dalam situasi baru), analisis (memecah informasi menjadi bagian-bagian), sintesis (menggabungkan bagian-bagian untuk menciptakan sesuatu yang baru), dan evaluasi (menilai nilai atau kepentingan informasi).
Revisi pada tahun 2001 oleh Anderson dan Krathwohl memperbarui taksonomi ini dengan mengganti beberapa istilah dan memindahkan evaluasi di bawah tingkatan tertinggi, yaitu mencipta (creativity). Taksonomi Bloom yang direvisi ini lebih fokus pada peran kreatif dan berpikir kritis yang dianggap penting dalam pendidikan modern.
Dalam konteks perkembangan cognitive science, pemahaman kita tentang bagaimana otak belajar dan memproses informasi semakin dalam, berkat penelitian dalam neurosains, psikologi kognitif, dan AI. Pendidikan abad ke-21 semakin menyadari pentingnya pendekatan yang personal dan adaptif, di mana setiap siswa memiliki gaya dan kecepatan belajar yang unik. Ini dapat diterapkan melalui teknologi pendidikan yang didukung oleh machine learning dan AI, yang memungkinkan pendekatan pembelajaran yang lebih disesuaikan.
Taksonomi Bloom, yang mengklasifikasikan keterampilan kognitif dari dasar hingga pemikiran tingkat tinggi seperti analisis dan penciptaan, menekankan pentingnya pengembangan kemampuan kritis dan kreatif. Namun, kelas-kelas di Indonesia sering kali lebih menekankan hafalan daripada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Data nasional menunjukkan bahwa 82% siswa sekolah menengah di Indonesia menghadapi kurikulum yang berfokus pada ujian berbasis fakta, yang membatasi peluang untuk berpikir analitis dan kreatif (Kementerian Pendidikan, 2024). Hal ini tercermin dalam performa Indonesia dalam penilaian internasional. Pada 2022, skor matematika Indonesia turun menjadi 366, dari 379 pada 2018. Taksonomi Bloom menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia sebaiknya bergerak melampaui hafalan menuju pembelajaran berbasis pemecahan masalah dan proyek untuk lebih melibatkan siswa dalam proses analitis dan kreatif.
4. Howard Gardner: Menghargai Kecerdasan Majemuk
Teori kecerdasan majemuk dari Howard Gardner mengusulkan bahwa kecerdasan itu beragam, meliputi kecerdasan linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik. Namun, pendidikan di Indonesia lebih menekankan kecerdasan linguistik dan logis-matematis melalui ujian standar, yang sering kali mengabaikan bakat dan potensi beragam siswa. Menurut laporan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 2023, hanya 15% sekolah di Indonesia yang menawarkan program khusus di bidang seni, olahraga, atau keterampilan vokasional, sehingga membatasi perkembangan siswa dengan kekuatan non-akademik. Teori Gardner mendukung pendekatan yang lebih inklusif, memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkan kemampuan unik mereka, sehingga berkontribusi pada sistem pendidikan yang lebih seimbang dan beragam.
Urgensi
Analisis ini menunjukkan adanya kesenjangan antara sistem pendidikan Indonesia dengan prinsip-prinsip pendidikan yang diusulkan oleh Dewantara, Freire, Bloom, dan Gardner. Masing-masing tokoh ini menganjurkan pendekatan yang berpusat pada siswa dan menghargai keunikan serta potensi setiap individu, yang berlawanan dengan fokus pada standarisasi dan keseragaman dalam pendidikan Indonesia. Data statistik memperkuat kekhawatiran ini, dengan penurunan skor PISA dan minimnya peluang bagi siswa untuk terlibat dalam pemikiran kritis dan ekspresi kreatif. Sifat ujian yang terlalu menentukan hasil belajar telah menghasilkan pendekatan pengajaran yang lebih mementingkan hafalan daripada pembelajaran yang menyeluruh. Untuk mengatasi masalah ini, reformasi sebaiknya mencakup kurikulum yang lebih fleksibel, mengurangi tekanan ujian standar, serta pelatihan guru untuk mendukung metodologi interaktif dan berpusat pada siswa.
Abad ke-21 menuntut pendidikan Indonesia untuk berkembang dengan mengintegrasikan prinsip dari pendidikan kritis yang merdeka Ki Hajar Dewantara, pedagogi kritis Freire, penekanan pada pemikiran tingkat tinggi Bloom, dan penghargaan terhadap kecerdasan majemuk Gardner. Mengadopsi kerangka teori pendidikan mereka, Indonesia dapat mengembangkan sistem pendidikan yang lebih inklusif, kritis, dan adaptif, yang mempersiapkan siswa untuk dunia yang kompleks dan dinamis. Penelitian lebih lanjut harus difokuskan pada studi longitudinal untuk menilai dampak reformasi yang berpusat pada siswa serta menganalisis peran pemberdayaan guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang transformatif.
Daftar Pustaka
- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. (2024). Survei Pengalaman Guru di Kelas.
- Aliansi Siswa Indonesia. (2023). Survei Keterlibatan Siswa SMA.
- Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. (2023). Laporan Program Khusus di Sekolah-sekolah Indonesia.
- OECD. (2023). Hasil PISA 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H