Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tinjauan Ringkas Urgensi Teori Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire, Benjamin Bloom, dan Howard Gardner untuk Pendidikan Indonesia

31 Oktober 2024   11:00 Diperbarui: 31 Oktober 2024   12:06 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem pendidikan Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam mengembangkan peserta didik yang mandiri, kritis, dan kreatif. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sistem saat ini masih sangat berfokus pada ujian standar dan hafalan. Transformasi pendidikan yang mengintegrasikan prinsip kebebasan belajar Ki Hajar Dewantara, pedagogi kritis Freire, pemikiran tingkat tinggi Bloom, dan kecerdasan majemuk Gardner sangat penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih holistik dan adaptif.

Sistem pendidikan Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi tuntutan abad ke-21. Tokoh pendidikan seperti Ki Hadjar Dewantara, Paulo Freire, Benjamin Bloom, dan Howard Gardner menawarkan kerangka kerja untuk pendidikan transformatif yang mendorong pemikiran mandiri, kritis, dan kreatif. 

Namun, pendekatan tradisional di Indonesia yang didominasi oleh ujian standar dan kurikulum yang kaku telah banyak dikritik karena membatasi perkembangan peserta didik. Data terbaru dari Program for International Student Assessment (PISA) 2022 menunjukkan penurunan skor Indonesia dalam bidang membaca, matematika, dan sains dibandingkan tahun 2018. Tulisan ini merupakan analisis sistem pendidikan Indonesia dari perspektif para tokoh tersebut, dengan mengintegrasikan data statistik untuk menyoroti tantangan dan potensi perbaikan.

Perspektif Teoretis 

1. Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan untuk Kebebasan

Filosofi Ki Hadjar Dewantara menekankan "merdeka belajar", di mana peserta didik diberdayakan untuk tumbuh sebagai pemikir mandiri. Prinsip "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" menggambarkan peran pendidik sebagai teladan, pemberi semangat, dan pendukung. Namun, pendidikan Indonesia yang masih sangat bergantung pada ujian nasional dan kurikulum terpusat dapat menghambat pertumbuhan individu yang diharapkan Dewantara. Sebuah survei tahun 2024 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari 70% guru merasa tertekan untuk lebih memprioritaskan persiapan ujian dibandingkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Tekanan ini bertentangan dengan prinsip Dewantara yang menghargai keunikan individu dan pengaruh budaya lokal.

2. Paulo Freire: Pendidikan sebagai Alat untuk Membangun Kesadaran Kritis

Paulo Freire mengkritik banking model dalam pendidikan, di mana peserta didik hanya menerima informasi tanpa keterlibatan kritis. Pendidikan di Indonesia sering mencerminkan model ini, dengan pendekatan yang didominasi oleh guru (teacher-centered), yang membatasi kemampuan siswa untuk mengembangkan kesadaran kritis (conscientization) yang diinginkan Freire. Misalnya, survei 2023 oleh Aliansi Siswa Indonesia mengindikasikan bahwa 65% siswa sekolah menengah merasa tidak terlibat dalam diskusi kelas. Skor PISA Indonesia yang rendah juga mencerminkan kurangnya keterlibatan kritis ini: skor membaca Indonesia turun dari 371 pada 2018 menjadi 359 pada 2022, menunjukkan perkembangan keterampilan literasi kritis yang minim. Perspektif Freire mendukung pendekatan pendidikan yang lebih dialogis dan memberdayakan untuk menciptakan warga yang kritis dan partisipatif, sebuah tantangan yang masih dihadapi di Indonesia.

3. Benjamin Bloom: Pemikiran Tingkat Tinggi dalam Pendidikan

Taksonomi Bloom dan perkembangan ilmu kognitif memainkan peran penting dalam pendidikan abad ke-21. Taksonomi Bloom, dikembangkan oleh Benjamin Bloom pada tahun 1956, memberikan kerangka kerja yang membantu pendidik memahami tingkatan berpikir siswa. Taksonomi ini awalnya mencakup enam tingkatan: pengetahuan (menghafal fakta), pemahaman (memahami makna), aplikasi (menggunakan informasi dalam situasi baru), analisis (memecah informasi menjadi bagian-bagian), sintesis (menggabungkan bagian-bagian untuk menciptakan sesuatu yang baru), dan evaluasi (menilai nilai atau kepentingan informasi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun