Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

BRICS, Ekonomi Indonesia, dan Gerakan Dedolarisasi

26 Oktober 2024   11:02 Diperbarui: 26 Oktober 2024   11:14 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap ekonomi global yang dinamis, dominasi dolar AS tetap menjadi elemen sentral yang memengaruhi kebijakan ekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) berupaya menantang dominasi ini dengan memperluas gerakan dedolarisasi. 

KTT BRICS 2023 di Johannesburg, Afrika Selatan, dan KTT 2024 di Kazan, Rusia, semakin menegaskan visi BRICS untuk memperkuat kemandirian ekonomi negara-negara anggotanya melalui penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional. Melalui analisis ini, saya akan meninjau bagaimana gerakan dedolarisasi BRICS dapat menjadi peluang bagi Indonesia, serta tantangan dan strategi yang perlu diterapkan.

Pada BRICS Summit 2023 di Johannesburg, keputusan penting diambil dengan penerimaan enam anggota baru, yaitu Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, yang memperluas cakupan ekonomi dan pengaruh BRICS secara global. Dedolarisasi menjadi agenda utama dalam pertemuan ini, dengan dorongan untuk meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional. Presiden Xi Jinping menyoroti pentingnya langkah ini untuk menciptakan tatanan ekonomi global yang lebih adil, sementara Presiden Rusia Vladimir Putin menekankan bahwa penggunaan mata uang lokal merupakan upaya dalam menghadapi sanksi ekonomi.

Pada BRICS Summit 2024 di Kazan, Rusia, negara-negara BRICS memperkuat komitmen dedolarisasi dengan peningkatan fasilitas perdagangan dan infrastruktur pembayaran berbasis mata uang lokal. Kedua pertemuan ini menunjukkan dedolarisasi sebagai langkah nyata untuk menciptakan ekonomi global yang lebih seimbang dan berdaulat, serta membuka peluang bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk berperan lebih besar dalam ekosistem perdagangan global.

Teori Ekonomi tentang Dedolarisasi dan Relevansi bagi Negara Berkembang

Teori optimal currency area (OCA) dari Robert Mundell (1961) menyatakan bahwa jika negara-negara dengan integrasi ekonomi yang kuat menggunakan mata uang bersama atau mata uang lokal dalam perdagangan, risiko nilai tukar dapat diminimalisir, sehingga meningkatkan stabilitas ekonomi. 

Mervyn King (2016) dalam bukunya "The End of Alchemy", berpendapat bahwa ketergantungan berlebihan pada dolar membuat sistem keuangan global rentan terhadap kebijakan ekonomi AS yang mengutamakan kepentingan domestik.

Eswar Prasad (2014: "The Dollar Trap") menunjukkan bahwa dedolarisasi adalah proses kompleks, terutama bagi negara-negara yang ekonominya belum stabil. Menurut Prasad, dedolarisasi membutuhkan kesiapan pasar dan kepercayaan terhadap mata uang alternatif. Indonesia harus mempertimbangkan hal ini dengan melakukan dedolarisasi bertahap melalui stabilitas makroekonomi dan penguatan kepercayaan terhadap rupiah.

Kondisi Ekonomi Makro Negara BRICS dan Indonesia

Meninjau data ekonomi makro negara-negara BRICS, kita dapat memahami kekuatan dan tantangan dedolarisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun