Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Patologi Demokrasi Diakhir Pemerintahan Jokowi

31 Agustus 2024   19:16 Diperbarui: 2 September 2024   15:39 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com / FITRI RACHMAWATI)

Seiring mendekatnya akhir masa jabatan Presiden Jokowi, banyak yang mulai mengkritisi warisan yang akan ditinggalkan oleh pemimpin yang telah dua periode memimpin Indonesia. 

Di satu sisi, Jokowi dikenal sebagai sosok yang berhasil mendorong pembangunan infrastruktur dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, pemerintahannya juga menghadapi sejumlah kritik, khususnya terkait dengan kondisi demokrasi di Indonesia yang dinilai mengalami kemunduran. Kompleksitas permasalahan yang muncul di Indonesia seperti konflik sosial, dan korupsi merupakan gejala yang menunjukkan keadaan bahwa demokrasi kita sedang sakit. 

Demokrasi yang sedang sakit, pasti disebabkan oleh penyakit demokrasi. Analogi penyakit demokrasi dalam berbagai paradox demokrasi memunculkan konsep "Patologi Demokrasi".

Kata patologi berasal dari kata Yunani "pathos", yang berarti "penderitaan", dan "--logia", yang berarti "studi tentang". Arti harafiah Patologi adalah studi tentang sebab dan akibat penderitaan dari sebuah penyakit termasuk kelainan struktural yang disebabkan oleh penyakit tersebut untuk keperluan diagnostik atau forensik.

Patologi Demokrasi bisa kita maknai sebagai suatu studi tentang sebab dan akibat munculnya permasalahan demokrasi termasuk kelainan yang muncul sehingga banyak menimbulkan penderitaan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Salah satu gejala sakitnya demokrasi kita adalah bahwa kekuasaan yang dipercayakan oleh rakyat melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sering dianggap hanya sebagai legitimasi kekuatan politik absolut. Demokrasi tampak berjalan, tetapi sebenarnya mengalami pelemahan sistemik.

Kondisi pelemahan demokrasi secara sistemik ini bisa menjadi ancaman serius terhadap matinya demokrasi. Kematian demokrasi bisa dilihat dari munculnya perilaku otoriter penguasa, seperti ditulis oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dari Universitas Harvard dalam bukunya "How Democracies Die" (2018), yang menjabarkan empat Indikator perilaku otoriter:

1. Penolakan (atau komitmen lemah terhadap) aturan main yang demokratis.
2. Penyangkalan legitimasi lawan politik
3. Toleransi atau dorongan terhadap kekerasan.
4. Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Beberapa catatan pelemahan sistemik demokrasi antara lain:

1. Konsolidasi Kekuasaan dan Melemahnya Oposisi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun