Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nada Tuli dan Darurat Demokrasi

28 Agustus 2024   07:43 Diperbarui: 28 Agustus 2024   09:59 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tone deaf" adalah sebuah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau suatu tindakan yang tidak peka terhadap situasi, perasaan, atau sensitivitas orang lain. Orang yang "tone deaf" sering kali tidak menyadari bahwa apa yang mereka katakan atau lakukan mungkin menyinggung atau tidak sesuai dengan konteks sosial atau emosional yang sedang berlangsung.

Dinasti politik menjadi sorotan terutama setelah beberapa anggota keluarga Jokowi, seperti putranya Gibran Rakabuming Raka dan menantunya Bobby Nasution, terjun ke dunia politik dan memenangkan posisi strategis seperti Walikota di Solo dan Medan.

Kritikus menilai bahwa keberhasilan mereka dalam politik, meskipun mungkin didukung oleh kemampuan pribadi, juga dipengaruhi oleh status mereka sebagai bagian dari keluarga Presiden. 

Demonstrasi ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa praktik politik dinasti dapat menghambat demokrasi dan meritokrasi, serta memperkuat kekuasaan segelintir kelompok elit di Indonesia. Para demonstran sering kali menuntut reformasi politik yang lebih luas dan penegakan aturan yang lebih ketat untuk mencegah terjadinya politik dinasti di masa depan.

Keberadaan dinasti politik adalah realita wajah demokrasi Indonesia saat ini. Akumulasi keberadaan politik dinasti bisa menjadi ancaman serius untuk demokrasi sekaligus merupakan ironi dari semboyan patriotik kebangsaan "Bhinneka Tunggal Ika". Proses demokrasi di Indonesia tahun 2024 kali ini terasa mengancam kohesivitas sosial bangsa kita. 

Perbedaan aspirasi politik sebenarnya wajar saja dan tentu tidak dapat dielakkan. Masalah kemudian muncul ketika perbedaan aspirasi politik tersandera dan dimanipulasi oleh rezim politik kekuasaan. Hal itu bisa saja terjadi akibat tindakan manipulasi suara rakyat pada pemilu Februari 2024 lalu. 

Demokrasi yang seharusnya disyukuri oleh rakyat sebagai sistem politik bernegara telah dimanfaatkan untuk memanipulasi kekuasaan politik. Dalam hal perjuangan politik, mandat sangat dibutuhkan oleh partai politik. Rakyat memegang mandat politik sejati sebagai kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi. Namun, saat ini mandat politik dari rakyat justru tampak sebagai objek yang sedang dimanfaatkan untuk melegitimasi kekuasaan. 

Rekayasa politik kemudian dilakukan dengan menggunakan argumen atau rumor yang memanipulasi identitas sosial pada isu-isu yang sangat emosional dan sensitif, menyentuh identitas kelompok untuk membenarkan mandat kepentingan politik mereka. Perjuangan politik memiliki spektrum yang luas dari ide-ide politik sampai menggunakan kerusuhan sipil untuk mempertahankan kekuasaan. 

Setiap orang bisa saja memiliki ide agenda politik yang berbeda. Ide politik akan hadir dalam ruang pemikiran dan imajinasi cita-cita politik. Imajinasi ini bisa jadi merupakan bagian dari romantika sejarah untuk membawa kembali rakyat pada kejayaan masa lalu.

Namun imajinasi juga dapat menghadirkan hal-hal baru berdasarkan proyeksi pemenuhan tujuan dan kepentingan politik. Setiap kelompok pasti akan berjuang untuk membenarkan arah dan tujuan politik yang dimilikinya sebagai hal yang paling benar.

Gagasan Awal Demokrasi 

Ide demokrasi telah dipraktikkan sejak 508-507 SM oleh Cleisthenes, yang juga disebut sebagai "bapak demokrasi Athena". Istilah "demokrasi" berasal dari kata Yunani (dmokrata), yang secara harfiah berarti dipimpin oleh rakyat. Pilihan sistem pemerintahan Indonesia sebagai negara demokrasi sangat jelas untuk menempatkan kepentingan bersama rakyat sebagai kepentingan nasional sebagai hal yang tertinggi. Kepentingan nasional jauh lebih tinggi daripada kepentingan apa pun di mana rakyatlah yang menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, bukan para politisi.

Seorang ilmuwan politik dari Amerika, Larry Diamond menyampaikan empat (4) unsur demokrasi, yang pertama adalah sistem politik untuk memilih dan menempatkan pemerintahan negara melalui pemilihan umum yang bebas dan adil. Kedua, unsur partisipasi aktif rakyat sebagai warga negara dalam berpolitik dan dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Unsur ketiga adalah perlindungan hak asasi manusia bagi semua warga negara. Unsur keempat adalah penegakan hukum dimana hukum diterapkan secara adil bagi semua warga negara. Keempat unsur demokrasi tersebut sebenarnya sudah ada di Indonesia, namun eksistensinya masih sangat terbatas pada formalitas demokrasi. 

Hal ini tentunya menuntut adanya kesadaran dan kecerdasan kolektif masyarakat Indonesia. Kesadaran bahwa substansi demokrasi harus tercermin dalam budaya demokrasi melalui proses dialektika dimana kepentingan nasional harus menjadi titik temu. Kecerdasan dibutuhkan untuk membedakan budaya politik cerdas dan bermartabat dengan budaya politik bodoh dimana politisi korup dan pendukungnya sering melakukan manipulasi dan onani politik. 

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dari Universitas Harvard menjabarkan empat Indikator perilaku otoriter dalam "How Democracies Die" (2018):

1. Penolakan (atau komitmen lemah terhadap) aturan main yang demokratis.
2. Penyangkalan legitimasi lawan politik
3. Toleransi atau dorongan terhadap kekerasan.
4. Kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Nada tuli bersama dengan simbol "Garuda" dalam latar belakang warna biru merupakan "alarm untuk bangun" bagi masyarakat sipil Indonesia agar kembali bangkit memperjuangkan demokrasi. Selama masyarakat, mahasiswa, akademisi, pengusaha, jurnalis melakukan aksi reformasi, demokrasi akan tetap bertahan hidup meski kadang terseok. (TA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun