Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lanskap Politik Pasca Pemilu 2024 dan Pengaruhnya terhadap Keistimewaan DIY

19 Februari 2024   08:36 Diperbarui: 19 Februari 2024   14:01 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel di situs Time (28/12/2023) dengan judul "The Ultimate Election Year: All the Elections Around the World in 2024", menuliskan bahwa tahun 2024 adalah tahun pemilu yang secara global, akan lebih banyak melibatkan pemilih sepanjang sejarah dunia dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak setidaknya 64 negara (ditambah Uni Eropa) dan mewakili gabungan populasi sekitar 49% jumlah penduduk dunia. 

Berdasarkan informasi tersebut, ada 16 negara di Asia yang menyelenggarakan pemilu nasional antara lain: Azerbaijan, Bangladesh, Bhutan, Kamboja, India, Indonesia, Iran, Maladewa, Mongolia, Korea Utara, Korea Selatan, Ossetia Selatan, Srilanka, Suriah, Pakistan, dan Taiwan. 

Lanskap Politik Dunia akan sangat dipengaruhi oleh hasil pemilu berbagai negara di tahun 2024 ini, apakah demokrasi akan berkontribusi terhadap terselenggaranya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, atau sebaliknya akan menjadi ancaman dunia. 

Wajah geopolitik global akan sangat dipengaruhi hasil pemilu berbagai negara di tahun 2024. Momentum politik dunia akan menentukan, apakah tahun 2024 ini, ASIA akan menjadi pusat kekuatan politik global yang artinya menjadi subyek percaturan politik dunia atau masih berada pada masa transisi demokrasi?

Pemilu di Taiwan,  siapa yang menjadi presiden berikutnya secara fundamental akan membentuk kebijakan strategis dan pendekatan Beijing terhadap pulau berpemerintahan sendiri tersebut. 

Vladimir Putin dalam pemilu di Rusia bulan Maret 2024 juga diprediksi hampir pasti akan menang. Pemilu di Rusia ini dapat dipandang sebagai indikator potensial atas pertanyaan: apakah masyarakat Rusia terus mendukungnya? Kemenangan Putin dikawatirkan negara-negara NATO akan mengancam perdamaian dunia dengan semakin brutalnya perang di Ukraina.

Agenda suksesi politik nasional juga sedang terjadi di Inggris, dibayangi ekonomi suram dengan Partai Konservatif yang telah berkuasa selama hampir 14 tahun. Jajak pendapat menunjukkan kecenderungan bahwa Partai Buruh yang merupakan oposisi, kemungkinan akan menang dalam pemilihan umum berikutnya di Inggris. Sir Keir Starmer sebagai pemimpin oposisi akan menantang Perdana Menteri Rishi Sunak pada bulan November 2024.

Pemilihan presiden Amerika Serikat yang juga di bulan November 2024, akan menjadi kunci kotak Pandora yang digambarkan oleh The Economist sebagai "bahaya terbesar bagi dunia" pada tahun 2024: manakala mantan Presiden Donald Trump akan kembali menjabat untuk masa jabatan kedua.

Pemilu di Indonesia tahun 2024 juga dipercaya sebagai pemilu yang sangat penting dan berpengaruh terhadap lanskap politik Nasional kedepan. Hasil penghitungan cepat  pemilu, utamanya informasi tentang pilihan presiden adalah yang paling ditunggu oleh masyarakat Indonesia dan juga dunia Internasional, kala itu Rabu, 14 Februari 2024 jam 15:00. 

Publik banyak yang sudah menduga bahwa kemenangan pilpres ada di pihak Prabowo - Gibran, namun spekulasi saat itu adalah soal prosentase kemenangan mereka. 

Hal yang sangat mengejutkan bagi publik  adalah informasi dari mayoritas lembaga penyedia data hitung cepat menyatakan perolehan kubu 02 hampir 60% dan merata lebih dari 20 provinsi. 

Kita masih ingat bagaimana film "Dirty Vote" yang berdurasi 117 menit juga ramai diperbincangkan publik sejak tayang perdana 11 Februari 2024 melalui kanal Youtube. 

Pemilu tahun 2024 di Indonesia juga menjadi pemilu yang penuh kontroversi dengan majunya Gibran sebagai Cawapres Prabowo. Faktor penentu keberhasilan Prabowo tidak bisa dilepaskan dari efek Jokowi dan penggunaan kebijakan "Pork Barrel" menjelang pelaksanaan pemilu 2024.

The Economist (7 Sep 2023) menuliskan sebuah artikel dengan judul "What will Indonesia look like after Jokowi leaves? The president's legacy is not guaranteed." Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa para kritikus mengatakan, proyek IKN senilai $34 miliar, yang diproyeksikan akan selesai pada tahun 2045, tidak realistis. Pemerintah menyampaikan akan menanggung 20% dari biaya yang diproyeksikan, dan sisanya didanai oleh investor dalam dan luar negeri. Namun faktanya, lebih dari empat tahun setelah proyek tersebut diumumkan, tidak ada satupun investor asing yang menandatangani kontrak yang mengikat untuk mendanai kota tersebut.  
 
Pasca pelaksanaan pemilu di Indonesia, BBC (15/02) dengan artikel "Prabowo Subianto on track to win Indonesia presidential race - early results," menyampaikan bahwa Prabowo (72 tahun), adalah tokoh yang terpolarisasi dan popularitasnya telah menimbulkan kekhawatiran bahwa Indonesia berada dalam bahaya kembali ke masa lalu yang otoriter. 

Sebagai mantan komandan jenderal pasukan khusus di bawah diktator Jenderal Suharto, ia dirundung tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Jokowi juga dituduh berkontribusi melemahkan demokrasi di Indonesia, dan menyalahgunakan kekuasaannya dalam aliansinya dengan Prabowo. Sebagian masyarakat terdidik Indonesia, meyakini kemenangan Prabowo akan memberikan arah mundur 25 tahun yang mencemaskan demokrasi.

Buku "How Democracies Die" karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018) sempat memicu perdebatan di Indonesia pada penghujung tahun 2020. Saya waktu itu sempat menuliskan apologi untuk Jokowi dari serangan narasi para oposisi melalui sebuah opini dengan judul "Menguji Insinuasi Matinya Demokrasi di Era Jokowi". Narasi pembelaan saya itu runtuh, seiring runtuhnya integritas moral & etika demokrasi yang dipertontonkan Jokowi sejak akhir Oktober 2023. Empat Indikator Perilaku Otoritarianisme dalam buku tersebut perlahan terpenuhi.

Profesor Harvard Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt telah menghabiskan lebih dari dua puluh tahun mempelajari runtuhnya demokrasi di Eropa dan Amerika Latin. Berdasarkan penelitian selama puluhan tahun dan kajian berbagai sejarah dunia, mulai dari Eropa pada tahun 1930-an hingga Hongaria, Turki, dan Venezuela masa kini, hingga Amerika Selatan pada masa Jim Crow, Levitsky dan Ziblatt menunjukkan bagaimana demokrasi mati dan bagaimana demokrasi kita bisa diselamatkan.

Terpilihnya Donald Trump (2016) sebagai presiden, telah menimbulkan banyak pertanyaan publik: Apakah demokrasi kita dalam bahaya? Para peneliti tersebut yakin jawabannya adalah ya, bahwa demokrasi kita dalam bahaya. Donald Trump digambarkan sebagai sosok politisi republikan yang populis, proteksionis, isolasionis, dan nasionalis. 

Kehidupan demokrasi saat ini tidak lagi berakhir dengan sebuah peristiwa ledakan dalam bentuk revolusi atau kudeta militer, tetapi bisa terancam dengan pelemahan institusi-institusi penting seperti peradilan dan pers secara perlahan dan terus-menerus,  dan terkikisnya norma-norma politik demokratis secara bertahap. Dalam buku tersebut dituliskan "Empat Indikator Perilaku Otoritarianisme" yaitu:
1. Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi.
2. Denial of the legitimacy of political opponent (Penolakan terhadap legitimasi oposisi).
3. Toleration or encouragement of violence (Toleransi, membiarkan atau mendorong adanya aksi kekerasan).
4. Readiness to curtail civil liberties of opponent, including media (Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil).

Sejarawan Inggris, Lord Acton (1834-1902) saat beliau mengirim surat kepada Uskup Mandell Creighton pada tanggal 3 April 1887, menuliskan sebuah adagium politik yang sangat populer "Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely". Kekawatiran organisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca pemilu 2024 adalah akan munculnya absolutisme neo orde baru. 

Salah satu catatan penting pemilu 2024 di Indonesia adalah lemahnya legitimasi moral dan etika politik. Hal ini tentu akan bisa memicu krisis kepemimpinan nasional. Komunikasi politik akan banyak diwarnai pragmatisme. 

Jurgen Habermas dalam bukunya Theory of Communicative Action (1988), menyampaikan bahwa membangun demokrasi memerlukan kemampuan komunikasi politik yang kuat. Habermas membayangkan kemampuan komunikasi politik ideal akan menimbulkan dialog antara elit politik sebagai penyampai pesan komunikasi dan rakyat secara terbuka, jujur, dan setara. 

Dalam hal menjaga komunikasi politik dialogis ini, ada tiga cara menguji keabsahan pesan politik kepada publik yang ditawarkan Habermas. Ketiga cara tersebut adalah menguji kejelasan arti pesan, menguji kesungguhan maksud pesan, dan menguji kebenaran faktual.

Dalam sistem politik yang demokratis, untuk memilih pemimpin nasional, ditentukan melalui pemilihan umum yang tentunya membutuhkan figur calon pemimpin dengan kredibilitas tinggi dan membutuhkan partai politik sebagai bagian dari demokrasi prosedural. Posisi kekuatan politik presiden Jokowi  pada periode kedua tahun 2019 sudah mencapai tingkat kepercayaan publik 80%. Tingkat "approval rating" Jokowi ini melebihi Narendra Modi (India; 77%), dan dibawah Kim Jong-un (Korea Utara) yang hampir pasti 100%. Apakah tingkat kepercayaan ini mencerminkan juga legitimasi moral Jokowi tahun 2024?

"Petisi Bulaksumur" pada tanggal 31 Januari 2024 telah menginspirasi dan memanggil para guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni dari ratusan perguruan tinggi untuk menyerukan seruan moral tentang menegakkan sendi demokrasi. Lanskap politik Indonesia pasca pemilu akan terancam dengan disintegrasi bangsa, dan mengerasnya dinamika politik Indonesia. Kohesifitas sosial dan agenda penegakkan hukum akan melemah.

*Keistimewaan DIY dalam Lanskap Politik Indonesia Pasca 2024*
Undang Undang (UU) nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY mengatur tentang keistimewaan DIY yang merupakan bagian integral dalam sejarah pendirian negara-bangsa Indonesia. Pengaturan Keistimewaan DIY bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. Pengaturan tersebut berlandaskan asas pengakuan hak asal-usul, kerakyatan, demokrasi, ke-bhinneka-tunggal-ika-an, efektivitas pemerintahan, kepentingan nasional, dan pendayagunaan kearifan lokal. Keistimewaan DIY bagi kehidupan republik ini, akan bisa menjadi sumber inspirasi dan energi baru bagi bangsa Indonesia yang menghadapi kemunduran demokrasi.

Momentum krusial pasca politik elektoral tahun 2024 adalah menjelang penetapan final hasil pemilu dan pelantikan presiden. Pasca pelantikan presiden selama 100 hari juga akan diwarnai gerakan menegakkan substansi demokrasi. 

Keistimewaan DIY mengandung semangat demokrasi substansial. Salah satu substansi demokrasi dicerminkan dalam buku "Tahta untuk Rakyat", menyampaikan proses perubahan sebuah kekuasaan yang menyatu dengan perkembangan pribadi seorang raja di masa modern. 

Sri Sultan HB IX lahir ditengah keagungan. Sejak tahun 1940 tahta itu, warisan tradisi kerajaan yang berabad-abad usianya dan menjadi hak istimewa dari turunan keluarga raja, diperbaharui secara mengesankan oleh seorang arsitek kekuasaan. 

Kekuasaan tradisional yang memperoleh legitimasi dari falsafah leluhur yang penuh mistik, diberi bentuk dan eksistensi baru : perpaduan pola fedoalistis dan corak demokratis. Sebuah kekuasaan yang peka menanggapi amanat penderitaan rakyat. Demokrasi dalam budaya Jawa tercermin dalam tiga semangat "Tri Satya Brata" yang diajarkan sejak Sri Sultan Hamengku Buwono I (1756) yaitu:

1. Rahayuning Bawana Kapurbawaskitaning Manungsa yang bermakna bahwa kesejahteraan alam semesta diraih dengan kebijaksanaan manusia.
2. Dharmaning Satriya Mahanani Rahayuning Nagara yang bermakna bahwa pengabdian yang tulus oleh seorang ksatria akan menyebabkan kesejahteraan negara.
3. Rahayuning Manungsa Dumadi Karana Kamanungsane yang bermakna bahwa kesejahteraan manusia terwujud karena kemuliaan manusia.

Kerajaan "Ngayogyakarta Hadiningrat" memiliki falsafah hidup yang demokratis yaitu ada dalam filosofi "Hamemayu Hayuning Bawono" yang bermakna bahwa kita harus memiliki perilaku dan martabat mulia untuk menjaga kebaikan alam semesta. Filosofi "Manunggaling Kawula Gusti" juga menjadi pedoman hidup dan kehidupan demokratis di Yogyakarta. Posisi DIY dalam lanskap politik nasional maupun internasional akan sangat penting sebagai sumber air kebijaksanaan di tengah ancaman sengkarut geopolitik global dan nasional. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun