Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Moral Hazard Dunia Pendidikan Kita: Oknum Rahwana Vs Sosok Guru Oemar Bakri

11 November 2021   14:36 Diperbarui: 6 April 2022   06:26 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: geotimes.id

Masyarakat sangat mengenal dua tokoh imajiner "Oemar Bakri" dan "Rahwana", serta secara reflek langsung mengerti perihal kedua sosok tersebut. 

Pak Oemar Bakri kita kenal melalui lagu populer Iwan Fals sebagai guru bersahaja yang penuh pengabdian, dedikasi dan integritas. Figur Oemar Bakri yang empat puluh tahun mengabdi menjadi guru jujur berbakti, meski banyak ciptakan menteri, profesor, dokter, insinyur tapi gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri. Saat ini sangat langka sosok guru yang masih menggunakan sepeda kumbang ke sekolah seperti pak Oemar Bakri. 

Hal demikian memang nampaknya satu kebaikan adanya peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik. Kemajuan jaman sudah berpengaruh terhadap kesejahteraan guru sehingga banyak tenaga pendidik yang mampu membeli mobil baru. Hendaknya soal peningkatan kesejahteraan ini tetap tidak mengurangi hakekat nilai-nilai moral Guru Oemar Bakri diantaranya yaitu kesahajaan, dedikasi, loyalitas dan integritas.

Pada sisi lain Rahwana yang hadir dalam legenda Ramayana sebagai sosok raksasa yang dipenuhi watak serakah, penuh angkara murka, dan pemuja kekuasaan juga masih banyak kita temui di dunia pendidikan. 

Jagat pendidikan dalam potret kebaikan figur Oemar Bakri dan keburukan Rahwana ini patut menjadi refleksi pentingnya memilih dan membentuk karakter manusia mulia sebagai penggerak sistem pendidikan kita. Banyak Rahwana di dunia pendidikan yang mencibir pada ketulusan dan jiwa pengabdian Oemar Bakri.

Pendidikan semestinya menghasilkan manusia yang cerdas dan mulia, berkemampuan penalaran maju dengan moralitas terpuji penuh ketulusan. 

Namun ironis jika proses pendidikan yang semestinya penuh dengan ajaran moral dan nilai sosial yang luhur harus dicederai dengan sikap tidak terpuji oknum insan pendidikan dan pengajaran di sekolah sejak penerimaan peserta didik. Komersialisasi pendidikan sebagai bisnis yang menjanjikan, sering meninggalkan atau mengabaikan tanggung jawab dan nilai moral. 

Salah satunya adalah pemahaman yang keliru tentang kajian empiris bahwa kehebatan manusia melalui pendidikan disebabkan oleh karena kemampuan nalar otak saja. 

Hal tersebut sudah memasuki alam bawah sadar sebagian masyarakat kita, termasuk insan pendidikan yang bahkan enggan membedakan perihal pengajaran dan pendidikan. Keberhasilan pendidikan sering dinilai dari output kemampuan kerja otak yang diukur secara kuantitatif saja. 

Sementara itu, hal terkait dengan kualitas moral subyek didik dan para pendidik sering terabaikan. Prof. Gunawan Santosa (2020) menyatakan bahwa realitas kehebatan manusia di alam semesta ini bukan semata karena otaknya, tetapi karena hatinya. 

Pengaruh pemikiran positivistik bahwa kehebatan kerja otak manusia seolah mampu menyelesaikan semua masalah, akan menyesatkan kita untuk membentuk manusia sejati yang berakal budi mulia. 

Monyet juga punya otak, dan induk monyet belum pernah dilaporkan ada yang gagal memonyetkan secara sejati anak monyetnya. Semua anak monyet yang dituntun induknya di hutan, mesti menjadi monyet sejati. 

Kalau monyet saja bisa mensejatikan keturunannya, sebetulnya manusia bisa lebih dari itu karena punya hati, punya perasaan, punya batin. Sistem duniawi kita yang semakin materialis membuat jauhnya keseimbangan antara otak dengan hati, antara logika rasional dan perasaan. 

Hal mementingkan obyektivitas nalar ini merupakan salah satu pengaruh dari aliran filsafat positivisme dengan tokohnya  Auguste Komte (1798-1857), seorang sarjana matematika dan fisika asal Perancis. 

Ia menuliskan buku tentang kajian fenomena sosial melalui metode empiris, yang kemudian dalam perkembangannya disebut sebagai aliran filsafat positivisme. Jika pengetahuan melampaui obyektivitas dan masuk menembus batas subyektifitas, maka informasi seperti itu tidak memenuhi syarat sebagai pengetahuan. 

Positivis percaya bahwa sains adalah media yang dapat mengungkap kebenaran di dunia ini, antara lain melalui ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi yang dihitung sebagai sains. 

Pemikiran aliran filsafat positivisme menolak kebenaran theologis dan metafisik karena sulit diukur secara obyektif.  Ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan ilmu politik tidak termasuk dalam kerangka aliran positivisme ini, karena dalam ilmu-ilmu sosial, pengetahuan dianggap berasal dari pengalaman subjektif individu yang tidak dapat diukur dan diamati. 

Para positivis menyebut ilmuwan sosial tidak obyektif karena mereka tidak terlibat dalam penelitian di dalam laboratorium. Laboratorium mereka adalah masyarakat dimana dinamika pergerakan, hubungan antar manusia tidak dapat dikendalikan sehingga pengetahuan yang diperoleh melalui studi tentang sikap manusia, relasi sosial, kisah hidup, dll. dianggap subyektif.  

Thesis aliran filsafat positivisme ini tidak lama kemudian mendapat penolakan. Karl Raimund Popper (1902 - 1994), seorang filsuf Inggris dikenal karena penolakannya terhadap pandangan induktivis klasik tentang metode ilmiah yang mendukung falsifikasi empiris. 

Pandangan ini kemudian menjadi aliran filsafat Post-positivisme yang berkembang pada abad ke-20. Pandangan ini bukan sekadar merevisi positivisme, tetapi merupakan penolakan total terhadap nilai-nilai inti positivisme. Post-positivisme menunjukkan bahwa penalaran ilmiah sangat mirip dengan penalaran akal sehat manusia.  

Post-positivisme juga mengasumsikan bahwa para ilmuwanpun tidak pernah objektif dan bias kepercayaan serta budaya mereka. Dalam pengertian ini, objektivitas murni tidak dapat dicapai karena ada perbedaan besar antara positivisme dan post-positivisme, meskipun keduanya didasarkan pada objektivitas.

Pendidikan dalam pandangan post-positivisme bukan hanya merupakan proses menemukan fakta atas pertanyaan ilmiah melalui kajian empiris dan obyektivitas penalaran, namun juga harus melibatkan faktor sosial dalam dinamika subyektivitas. Prof. PM. Laksono (2020) mengingatkan pentingnya memahami rumusan tujuan Pendidikan di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 yang memuat peraturan tentang pendidikan dan pengajaran disekolah sebagai arah tujuan pendidikan secara jelas. 

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1950 pasal 3 dicantumkan bahwa "Tudjuan pendidikan dan pengadjaran ialah membentuk manusia susila jang tjakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air." Dalam perjalanan waktu, rumusan tujuan pendidikan kita yang dulu sangat jelas, kini semakin absurd dan bias kepentingan kekuasaan. Membangun karakter manusia susila yang cakap merupakan tujuan proses pendidikan bertumpu pada olah akal dan hati.

Integritas Jalma Kang Utama
Yogyakarta sebagai salah satu pusat pendidikan terkemuka di Indonesia, merupakan "role model" dalam penyelenggaraan sistem pendidikan unggul. Hakikat tujuan pendidikan di Yogyakarta untuk membentuk manusia seutuhnya yang penuh kemuliaan, menjadi sangat penting kita wujudkan dengan pemikiran kritis dan jiwa merdeka. 

Menghasilkan "Jalma Kang Utama", salah satunya harus dimulai dengan membersihkan Pendidikan & Pengajaran di DIY dari PUNGLI sebagai "moral hazard" dunia pendidikan. Pungli yang juga termasuk tindak kejahatan korupsi merupakan hal yang tidak bisa dibiarkan. Kita butuh upaya dan komitmen sangat serius serta berkelanjutan untuk membersihkan dunia pendidikan dari korupsi.

Tindakan pungli merupakan perilaku tidak terpuji yang disebabkan oleh rusaknya moral para pelaku berkarakter Rahwana. Dalam Filsafat Timur, Kisah Ramayana merupakan manifestasi ajaran luhur tentang moral kebaikan dan sifat keburukan yang hadir dalam figur para tokoh.  

Figur Rahwana merupakan gambaran sifat dan karakter keburukan manusia, meski dia memiliki banyak pengetahuan namun juga selalu memiliki kejahatan. Rahwana yang kadang dialihaksarakan sebagai Rvaa atau Revana merupakan tokoh antagonis melawan Rama dalam Sastra Hindu. 

Rahwana dikenal sebagai ksatria besar dan dilukiskan dengan sepuluh kepala (disebut juga "Dasamukha") yang menunjukkan bahwa ia memiliki pengetahuan dalam Weda dan sastra, serta memiliki dua puluh tangan, yang menunjukkan kesombongan dan keinginan tak terbatas. 

Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) telah membuka mata batin kita, tentang indikasi kejahatan pungli yang dibungkus dengan siasat sumbangan. Hal demikian terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada tindakan korektif dari penanggung jawab sistem pendidikan daerah. 

Pada tahun 2008 sempat ada tindakan hukum atas pelanggaran berupa pungli di salah satu SMA ternama, hingga Kepala Sekolah tersebut harus mendekam di Hotel Prodeo. Beberapa tahun berikutnya praktek Pungli di Sekolah sempat reda. 

*Sumbangan berciri Pungli saat Pandemi*
Pada tahun 2020 saat Pandemi Covid-19 membuat retak pilar perekonomian masyarakat, justru praktek Pungli terkait PPDB 2020 terjadi lagi secara masif.  

Tercatat ada belasan Sekolah Menengah Atas di DIY melalui keputusan komite sekolah yang menarik sumbangan dengan ciri Pungli serta uang seragam dari orang tua siswa. Jumlah komulatif sumbangan dengan ciri Pungli tersebut sangat fantastis yaitu lebih dari Rp 24.5 milyar. Ironisnya tindakan tidak terpuji tersebut masih berlanjut di tahun 2021 ini.

Dalam Peraturan Pemerintah nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan penyelenggaraan Pendidikan pasal 181 sangat jelas tertulis (a) pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan; 

(b). memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan; 

(c.) melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang menciderai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik; dan/atau 

(d.) melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menjaga integritas moral dari tindakan tercela para oknum insan pendidikan perlu dilakukan secara sistemik baik melalui upaya pencegahan maupun penegakkan hukum. 

Pada tahun 2020 lalu AMPPY telah melaporkan indikasi kasus pungli PPDB dan Non PPDB 2020 kepada Kejaksaan Tinggi DIY. Tahun 2021 ini perjuangan untuk membersihkan carut marut pungli di dunia pendidikan dilanjutkan kembali melalui somasi terbuka. 

Masyarakat juga dilayani melalui posko pengaduan pungli di dunia pendidikan melalui kantor LBH Yogyakarta baik secara online maupun tatap muka yang juga akan didukung banyak lembaga antara lain Sarang Lidi, PUNDI, IDEA. Komitmen Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta untuk membersihkan Dunia Pendidikan dari Korupsi perlu didukung penuh sebagai fondasi moral menegakkan marwah Pendidikan.

Keberadaan dan peran Satgas SABER PUNGLI harus direvitalisasi secara maksimum agar tidak terjadi kasus pungli yang berulang setiap tahun. Dalam permendikbud 44 tahun 2012, SD dan SMP  tidak boleh memungut biaya pendidikan, tapi sekolah dapat menerima sumbangan dari masyarakat untuk menutup selisih defisit Rencana Anggaran Sekolah (RKAS) berdasarkan Permendiknas No. 19 tahun 2007.

Komite Sekolah harus didudukan sebagaimana mestinya sesuai apa yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Perihal penggalangan dana oleh komite sekolah sudah diatur dalam Permendikbud No 75 Tahun 2016 Pasal 10 yang tertulis 

(1) Komite Sekolah melakukan penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. 

(2) Penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.

Sayangnya, item sumbangan dari masyarakat ini menjadi celah untuk mensiasati aturan tersebut yang patut diduga demi kepentingan pribadi atau kelompok. Hampir semua sekolah memanfaatkan POT atau komite sekolah untuk meminta sumbangan pendidikan yang diorganisir tidak sesuai dengan kaidah sumbangan masyarakat. Unsur sumbangan yang harusnya berdasarkan prinsip suka rela  tidak dijalankan. Banyak sumbangan pendidikan sudah dicantumkan jumlah nominalnya baik bisa satu nominal atau pilihan dengan tenggat waktu.

Dalam permendikbud 75 th 2015 komite sekolah juga tidak boleh menjual seragam sekolah. Namun demikian banyak sekali pelanggaran yang dilakukan entah melalui komite, melalui sekolah, atau bahkan dititipkan seolah sebagai aktivitas koperasi sekolah. 

Akibat dari dua hal tersebut di atas, banyak orang tua siswa yang tidak mampu membayar biaya tersebut dan banyak sekolah melakukan praktek penahanan ijazah siswa yang belum melunasi biaya sekolah.

Pendidikan tidak mungkin berhasil dengan baik jika tradisi memungut sumbangan ini menjadi kultur birokrasi pendidikan yang korup. Pungutan sering dibungkus menjadi seolah sumbangan, meski ciri suka rela tidak terpenuhi. Sumbangan tidak ditetapkan besaran jumlahnya dan tidak diwajibkan serta harus berdasarkan suka dan rela. 

Praktek yang terjadi dilapangan justru sebaliknya, banyak sumbangan disampaikan sebagai kesepakatan orang tua siswa dengan jumlah nominal tertentu dan terkesan diwajibkan. Mekanisme penentuan sumbangan berciri pungli ini biasanya dilakukan melalui rapat komite sekolah bersama orang tua sesudah kepala sekolah menyampaikan kebutuhan sekolah ini dan itu.

 Intinya sekolah merasa kekurangan dana untuk menyelenggarakan pendidikan yang ideal dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Alokasi anggaran Pendidikan dalam APBN dan APBD yang 20% sebenarnya sudah cukup besar. Ironis jika pihak sekolah masih harus bersiasat dengan Komite Sekolah untuk mencari celah penggalangan dana demi menutup kekurangan dana BOS. 

Banyak sekolah lantas mengada-adakan seragam ciri khas almameter, ikat pinggang, bahkan hijab dengan bordir sekolah yang harus dibeli oleh siswa. Harga rerata seragam yang dibeli dari pasar jauh lebih murah dari seragam yang dibeli di sekolah melalui komite.  

Refleksi pilihan tokoh imajiner Oemar Bakri atau Rahwana semoga menjadi otokritik untuk melakukan transformasi pendidikan dari keburukan sifat Rahwana menjadi ketauladanan dan kedisiplinan yang berintegritas dalam kesahajaan Oemar Bakri. (TA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun