Lebih setahun lalu, pada tanggal 17 April 2019, Bangsa Indonesia telah menyelenggarakan Pemilihan Umum yang kita percaya sebagai salah satu proses penentuan para wakil rakyat, Presiden, Â dan Wakil Presiden secara konstitusional. Â Kita lalui dinamika Pilpres dan Pileg 2019 dengan lika-liku dialektika konfliktual yang berujung dengan negosiasi dan konsensus kekuasaan. Banyak persoalan kekerasan sosial terjadi sebagai imbas residu persoalan politik elektoral yang belum selesai dan muncul sebagai konflik horisontal.
Penghujung tahun 2020 ini, kita akhirnya bisa menyelenggarakan Pesta demokrasi untuk pemilihan kepala daerah ditengah gejolak Pandemi Covid-19. Perhelatan besar Pilkada serentak di 270 wilayah di Indonesia yang terdiri dari 9 Provinsi, 224 Kabupaten dan 37 Kota telah usai digelar tanggal 9 Desember 2020. Kita mengalami berbagai hal baik dan buruk dalam siklus politik ini. Â
Salah satu realita wajah buruk imbas proses demokrasi di Indonesia adalah fenomena ancaman disintegrasi bangsa. Proses demokrasi kita memang masih terasa kental diwarnai dinamika politik identitas dan politik dinasti yang sangat mengancam kohesifitas sosial negeri ini.
Pengentalan menurut keyakinan dan afiliasi politik terjadi hampir di semua strata sosial. Betapa buruknya sampai tidak sedikit relasi pertemanan terpecah, keluarga terbelah dan masyarakat terpisah oleh aspirasi politik yang berbeda.
Perbedaan aspirasi politik itu sejatinya adalah sesuatu yang normal dan secara alamiah pasti terjadi. Â Persoalan kemudian muncul saat perbedaan aspirasi politik ini diperoleh dengan memanipulasi heterogenitas masyarakat.Â
Keberagaman yang seharusnya disyukuri sebagai suatu karunia dan konsep Tuhan untuk menunjukkan keindahan dan kekayaan Bangsa Indonesia, telah dimanfaatkan dengan upaya membangun persepsi buruk bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan majemuk yang mencemaskan dan harus dirubah.Â
Penajaman perbedaan ini kemudian meluas melalui rekayasa politik dengan menggunakan isu etnisitas, agama dan keyakinan yang majemuk. Hal ini menimbulkan pengentalan masyarakat menurut perbedaan-perbedaan yang dibungkus oleh kepentingan kelompok berbasis identitas sosial.
Kepentingan bersama kelompok-kelompok ini diperjuangkan salah satunya melalui jalan perjuangan politik. Dalam hal perjuangan politik, hal yang sangat dibutuhkan adalah mandat dari kelompok. Mandat sejatinya adalah hal yang diberikan oleh pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi yaitu rakyat. Â
Namun saat ini mandat terkesan justru diminta oleh penguasa atau calon penguasa dengan pemilu sebagai sebuah rekayasa politik untuk melegitimasi kekuasaan melalui pemungutan suara. Rekayasa kemudian dilakukan lagi dengan menggunakan dalil atau kaidah sosial yang identik dan sangat emosional menyentuh identitas golongan dari kelompok-kelompok untuk menjustifikasi mandat perjuangan politik tersebut.
Perjuangan politik ini memiliki spektrum yang luas mulai dari gagasan politik sampai peperangan. Setiap orang bisa saja memiliki gagasan politik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Gagasan politik tersebut sebagian akan hadir dalam ruang pemikiran dan melahirkan imajinasi politik ideal, sementara sebagian lagi melalui imajinasi politik kepentingan yang cenderung pragmatis. Â
Imajinasi ini bisa jadi menjadi bagian dari romantika sejarah untuk menghadirkan lagi kejayaan masa lalu. Namun imajinasi tadi bisa juga menghadirkan hal baru yang berdasarkan pada proyeksi terpenuhinya tujuan dan kepentingan politik.