Beredar viral pernyataan Juliari tentang pentingnya pendekatan humanis untuk mencegah korupsi menjadi ironi setelah rakyat tahu justru menteri sosial pembuat statemen pencegahan korupsi ditangkap KPK.
Dugaan pungutan Rp 10.000 per paket sembako dari perusahaan rekanan, bisa saja dianggap "bukan korupsi" oleh para pejabat di lingkungan Kementerian Sosial.
Praktik pungutan seperti itu nampaknya merupakan praktik umum yang biasa dilakukan dalam siklus pengadaan barang dan jasa di lingkungan birokrasi pemerintah.
Dana pungutan liar itu bisa bermacam- macam sebutan, misalnya bisa dikenal sebagai dana taktis, dana koordinasi (dako), ada pula yang menyebut dana lobby.
Service Fee, Dana Taktis, Dana Koordinasi ... dianggap wajar dan aman jika besarnya kurang atau sama dengan 20%.
Sistem kita sebetulnya sudah sangat rumit untuk mencegah korupsi, mulai peraturan terkait prosedur pengadaan barang dan jasa termasuk standard harga barang dan jasa. Serumit apapun sistem tentu masih ada celah yang memungkinkan peluang terjadinya pelanggaran (fraudulence).
Mengapa dua menteri itu ditangkap KPK ?
Pasti ada konstelasi peta politik Nasional yang melibatkan para elit negeri ini. Konstelasi politik itu kemudian memicu (trigger) pengungkapan korupsi oleh oknum pejabat politik sebagai pelaku namun sekaligus korban.
Permainan korupsi oleh oknum pejabat tinggi jika terlalu kasar, ya pasti sangat beresiko. Setiap kasus pelanggaran hukum di instansi pemerintah by system pasti akan terdeteksi secara berjenjang baik oleh inspektorat, BPKP, BPK dan KPK. Â
Permasalahannya ada pejabat yang sensitif dan lantas sadar dengan sistem peringatan dini korupsi, namun banyak juga yang skeptis.
Saat pejabat skeptis dengan "early warning system", maka kondisi mereka akan tergantung pada dua hal yaitu bisa melakukan countertrade atau tidak. Mereka yang tidak bisa melakukan negosiasi taktis  sudah pasti akan terkena tindakan penegakkan hukum.