Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mitos New Normal dan Pencarian Model Ekonomi Baru

20 Juli 2020   05:17 Diperbarui: 20 Juli 2020   08:12 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber : resilience.org)

Tahun 2020 ini, dunia telah gagal mencegah dan mengatasi ketidakpastian dampak ekonomi akibat pandemi covid-19 dengan cepat, akurat, dan terukur.

Situasi demikian tadi sangat berbahaya baik dalam konteks kesejahteraan umat manusia, keamanan manusia dan perdamaian dunia. Hal ini terjadi akibat runtuhnya sistem ekonomi dunia yang didominasi oleh sistem kapitalisme global dan didukung oleh sistem keuangan global terpusat.

Para pakar ekonomi berpikir keras untuk mencari solusi runtuhnya ekonomi global yang dihempas oleh jatuhnya rantai permintaan dan penawaran global secara menyeluruh serta dalam waktu bersamaan akibat kebijakan pengendalian penyebaran covid-19.  

Dalam waktu yang sangat cepat, ekonomi dunia dilanda ketidakpastian dan ketidak normalan. Hal ini memicu munculnya satu terminologi yang pernah digunakan sekurangnya tahun 2009 oleh koran Philadelphia dalam kutipan Paul Glover dan tahun 2010 oleh Mohamed.A. El Erian dalam kuliahnya yang mengutip artikel Bloomberg News tahun 2008.

Frase "Normal Baru" sangat cepat menyebar di seluruh dunia dengan seluruh absurditasnya. New Normal selain menjadi rujukan terminologi yang menggambarkan perubahan situasi adaptasi kebiasaan baru juga nampak kemudian dimitoskan sebagai gambaran harapan kehidupan baru pasca pandemi covid-19 berakhir untuk mengalihkan kekacauan dengan semua ketidak normalannya.

New Normal sebagai mitos bisa saja menjadi situasi ketidakpastian baru diatas ketidak pastian saat ini yang bisa saja hampir tak terbatas, dan tidak terdefinisi. Satu-satunya visibilitas dan penanda umum  kenormalan baru ini adalah diterapkannya pengaturan melalui protokol kesehatan Cleanliness, Health, dan Safety.

Ironisnya, saat banyak orang masih setengah sadar dan masih mencoba menguasai konsep New Normal, akan segera muncul antithesis New Normal yaitu Post New Normal, dan seterusnya.

Mengapa sistem ekonomi Global yang sangat kuat tiba-tiba menjadi sangat rapuh? Apa yang sebenarnya terjadi ?

Charles Eisenstein (2011) dalam bukunya "Sacred Economics: Money, Gift, and Society in the Age of Transition" mengungkap sejarah uang dari era ekonomi klasik dengan sistem barter hingga era kapitalisme modern. Sistem ekonomi saat ini yang menghadirkan sistem keuangan terpusat dengan segala kerumitannya telah berkontribusi pada keterasingan, persaingan, dan kelangkaan sumber daya lokal yang menghancurkan eksistensi  komunitas lokal dan digantikan komunitas global dengan paradigma pertumbuhan ekonomi.

Pada saat pandemi covid-19 tahun 2020, tren sistem keuangan global terpusat ini telah didorong mencapai titik terendah pada kulminasi ekstrem. Dalam waktu kurang dari satu dekade kedepan, sistem itu akan runtuh dan dunia sedang memasuki masa transisi menuju sistem ekonomi baru yang sangat mungkin memiliki karakter lebih terbuka dan tidak terpusat. Pasca keruntuhan sistem ekonomi lama, kita akan menemukan peluang besar untuk memasuki masa transisi menuju cara hidup yang lebih terhubung (connectedness), ekologis (ecological based approat), dan berkelanjutan (sustainable).

Eisenstein mengungkap mitos dan kebohongan yang menopang struktur kekuasaan, kehancuran sosial dan spiritual di mana kita semua dengan tidak sadar terlibat didalamnya. Sesuatu yang suci di dunia ini, pasti bukan uang dan orang pasti dapat bertindak di luar ekonomi uang, terlepas dari kekuatan yang dimilikinya atas hidup mereka.

 
Pandemi covid-19 ini telah menghancurkan mitos sistem ekonomi lama dan membuka satu keniscayaan ekonomi dengan meletakkan dasar bagi cara berpikir lebih baik untuk dapat mengembalikan harapan dan membantu kita menuju ke masa depan yang positif. Kesadaran kritis untuk mengembalikan gagasan ekonomi kepada ide awal ekonomi yang suci, hanya mungkin terjadi dengan keruntuhan ekonomi global oleh kekuatan alam bersekala sangat besar yaitu pandemi sebagai satu bencana mega catastrophic.

Pertumbuhan ekonomi yang masif dan berhubungan erat dengan Gross Domestic Product ini ternyata tidak bisa memberi jaminan kebahagiaan individu. Tim Jackson (2016) menulis sebuah buku berjudul "Prosperity Without Growth, Foundation for The Economy of Tomorrow" .

Pertumbuhan Ekonomi memang membawa banyak manfaat, namun  di sisi lain juga membawa berbagai permasalahan ekologi. Salah satu konsekuensi pertumbuhan ekonomi adalah eksploitasi sumber daya alam secara masif sebagai bahan baku dalam suatu siklus rantai produksi dari hulu sampai ke hilir.

Dialektika perdebatan tentang pembangunan berkelanjutan tanpa pertumbuhan semakin menguat. Konsep dan paradigma pertumbuhan ekonomi adalah ekonomi konvensional yang mengaburkan batas ekonomi dan politik untuk terus menerus mengejar pertumbuhan ekonomi secara eksponensial.

Rajni Bakshi (2013) seorang cendekiawan perempuan India percaya bahwa Mahatma Gandhi sudah meletakkan dasar pemikiran yang menggugat konsep kapitalisme modern. Mahatma Gandhi dalam salah satu  kutipan menyatakan bahwa : "Bumi ini cukup untuk memuaskan kebutuhan setiap orang, tetapi tidak akan cukup untuk kerakusan setiap orang"

Senafas dengan kutipan Mahatma Gandhi tersebut Prof. Drs. Purwo Santoso, MA. Ph.D (2020) menyampaikan pernyataan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan agregat akumulasi kerakusan umat manusia.

Pandemi Covid-19 ini bisa menjadi refleksi betapa ekonomi dengan didorong kemajuan semua teknologi telah bertumbuh secara revolusioner diluar dari daya dukung alam. Saat ini seiring dengan dampak pandemi covid-19 dengan situasi gejala mengarah pada resesi ekonomi global terburuk abad ini sedang terjadi pergeseran zaman yang juga akan memicu pergeseran aksial ekonomi dan politik dunia. Sangat dimungkinkan sumbu ekonomi dan politik dunia akan bergeser ke Asia yang memiliki kebudayaan ekologis kuat, tradisi semangat ekonomi sosial, dan penguasaan teknologi internet, serta keberagaman sumberdaya tak terbatas dengan jumlah penduduk yang besar.

New Normal adalah paradoks global sebagai akibat tekanan pandemi covid-19 yang tak terhindarkan dan datang dalam paket lengkap disrupsi serta mitos ekonomi untuk menggantikan konsep globalisasi yang gagal. Beberapa pemikiran alternatif oleh para cendekiawan abad ini tersebut juga diikuti oleh inisiatif aksi untuk menantang sistem ekonomi kapital. Inisiatif yang muncul antara lain adalah pemikiran dan konsep ekonomi Pancasila dan ekonomi kerakyatan di Indonesia, inisiatif gerakan Gross National Happiness di Buthan, inisiatif Ekonomi Zero Growth, dan muncul serta menguatnya mata uang digital.

David Chaum (1983) telah memperkenalkan gagasan tentang uang tunai digital dan kemudian muncullah e-gold sebagai uang Internet yang pertama kali digunakan secara luas, dan diperkenalkan pada tahun 1996 serta disepakati menggunakan istilah "mata uang digital" untuk menggambarkan pembayaran antar rekan dalam berbagai instrumen pembayaran secara "peer to peer". Mata uang digital ini tidak memiliki bentuk fisik dan hanya ada dalam bentuk digital.  Mata uang digital termasuk uang virtual dan crypto-currency serta dapat digunakan untuk menggantikan fungsi uang tradisional dalam transaksi jual beli barang, dengan transaksi instan dan transfer kepemilikan tanpa batas. Sistem monetisasi lama akan terbongkar dan melahirkan komunitas ekonomi baru di dunia maya.  Uang mungkin telah menyebabkan masalah terbesar kita, dan  kita perlu meredefinisinya untuk memecahkan masalah tersebut dengan segala kompleksitasnya.

Clayton M. Christensen dan Joseph Bower (1995) menyampaikan gagasan Disruptive Innovation dalam sebuah artikel berjudul "Disruptive Technologies: Catching the Wave" di jurnal Harvard Business Review. Faktor perkembangan teknologi yang sangat cepat telah memicu inovasi berbasis teknologi yang merusak model bisnis lama. Bumi dieksploitasi secara berlebihan dengan pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi (innovation driven growth).

Saat semua inovasi digital ekonomi bertumbuh dan berkembang sangat cepat, terjadilah pandemi covid-19 yang mengguncang semuanya. Ibarat kita tengah melaju dalam satu kendaraan besar dengan kecepatan yang tinggi, lalu tiba-tiba kita berhenti mendadak tanpa peringatan terlebih dahulu. Disrupsi ekonomi oleh teknologi digital telah terdisrupsi lagi oleh kekuatan alam dalam siklus pandemi seratus tahunan.

Pandemi memicu proses deglobalisasi secara masif dan alamiah. Runtuhnya rantai permintaan dan penawaran global membawa konsekuensi munculnya mekanisme survival ekonomi. Banyak negara di Asia memiliki kemampuan alamiah untuk survival ekonomi dengan basis kekuatan lokal dan modal sosial yang jauh lebih kuat dibanding Eropa dan Amerika.

Reaktualisasi Ekonomi Pancasila
Salah satu model survival ekonomi terbaik di Asia muncul di Indonesia dengan konsep ekonomi Pancasila. Prof. Dr. Mubyarto (1988) dalam bukunya Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia menjelaskan, Ekonomi Pancasila bergerak oleh karena kekuatan moral dan nilai sosial dalam setiap silanya untuk mewujudkan keadilan sosial yang berarti pemerataan sosial ekonomi.  

Pengembangan ekonomi nasional yang kuat dan tangguh menjadi prioritas kebijakan ekonomi yang didukung oleh koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Dalam jiwa ekonomi Pancasila, dr. Hasto Wardaya, Sp.Og. (2020) menggagas upaya menggelorakan lagi semangat ekonomi kerakyatan yang dalam konteks budaya Jawa beliau sebut sebagai ekonomi Punokawan.

Pandemi Covid-19 diibaratkan sebagai momentum goro-goro yang memunculkan punokawan (rakyat khalayak). Rakyat dengan modal mereka sendiri sebagai pelaku UMKM memiliki kemampuan survival lebih baik dibanding perusahaan Nasional atau bahkan perusahaan Trans Nasional.

Hal itu membuat dr. Hasto berharap agar Indonesia  membangun ekonomi kapitalis kanan bawah , dalam arti pemilik utama modalnya adalah rakyat yang dibawah. Amerika menerapkan sistem kapitalisme modern kanan atas dengan karakter tricle down effect-nya.

Korea selatan dengan Saemaul Undongnya, Jepang, Australia, Selandia baru sukses dengan ekonomi kanan bawah.

Ekonomi Zero Growth
Pandemi menghidupkan dan mengaktualisasikan lagi konsep ekonomi Zero Growth. Konsep Zero Growth Ekonomi adalah konsep Harmoni Kesehatan Fisik & Kesejahteraan Sosial.

Alam semesta ini sesungguhnya tercipta dengan sistem kesetimbangan yang baik.
Energi yang ada juga kekal, tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan. Manusia sebagai homo homini sosius menjaga kesetimbangan ini.

Anthony Giddens (1980) dalam bukunya "The Third Way" telah menulis bahwa saat ini dunia berada dalam situasi "ketidakpastian yang dibuat" (manufactured  uncertainty).

Jangan mengikuti mitos yang kabur, peganglah prinsipnya bahwa tentang perubahan kita butuh untuk tetap kuat, memiliki daya tahan (endurance), daya adaptasi (adaptability), dan resiliensi (resilience). (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun