Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Hukum | Pendidikan

Penulis adalah pengamat ekonomi politik, reformasi birokrasi, dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manuver Elit Politik di Kampus

8 Juni 2020   13:58 Diperbarui: 8 Juni 2020   14:27 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita harus sadar bahwa ada gerakan yang menciptakan situasi diametral di kampus dengan isu isu agama vs demokrasi. Pola gerakannya sangat sistematis, lemahkan lawan dengan memecah belah internal lawan melalui dialektika demokrasi.

Gerakan oleh rejim yang kita sebut saja the invisible hand, menggunakan isu isu populis seperti kebangsaan, kemanusiaan, gender dan kebudayaan, namun sebetulnya secara substansi memasukan gagasan gagasan lain yang bertentangan dengan substansi demokrasi dan berkebudayaan. Spirit neoliberalisme ada dalam gerakan mereka ini. Itulah salah satu yang membuat "social movement" kita tidak efektif serta cenderung involutif, merumit kedalam.

Invisible hand ini bukan hanya hadir sebagai pribadi kelompok tetapi mereka bergerak sangat sistematis. Ada tiga layers yang bergerak simultan secara invisible sebagai gerakan yaitu layer teknis sebagai operator lapangan yakni personal atau kelompok dengan kepentingan pada akses sumberdaya, layer pemikir yakni mereka yang bertugas mengembangkan gagasan dan melakukan rasionalisasi konsep konsep baru, lalu layer strategis yakni mereka yang akan saling terhubung ditingkat Nasional dan Global utk mendesain semua kebijakan strategis bagi agenda mereka.

Ada angka konflik yang cukup tinggi di dunia NGO Indonesia, sekitar 80% dengan anatomi konflik manifest yang sama yaitu ada pertentangan kelompok, entah kelompok mapan dg kelompok pembaharu atau kelompok pembaharu dengan kelompok pembaharu yang intinya ada persoalan "conflicting interests". 

Saya kaji lebih mendalam ternyata ada upaya sistematis dibalik konflik-konflik tersebut yakni dengan memasukan staff baru yang memiliki agenda ad hoc untuk sekedar bikin konflik lalu keluar dalam tempo satu atau dua tahun. 

Tahun 2006-2012 saya beberapa kali melakukan evaluasi proyek dan kelembagaan NGO, pendampingan untuk pengembangan kapasitas organisasi, serta mentoring, rupanya pada kurun waktu itu banyak yang mengalami konflik antara Yayasan dengan eksekutif, antar internal yayasan atau internal eksekutif. 

Persoalan mereka antara lain adalah karena ada desakan perubahan melawan mereka yang resisten terhadap agenda perubahan. Desakan perubahan tersebut biasanya terkait dengan isu seolah ada gelombang demokratisasi lembaga, ada indikasi fraud atau hanya semata mata berebut jabatan untuk akses terhadap donor. 

Ketergantungan donor masih sangat tinggi dan kurang memiliki orientasi agenda perubahan jangka panjang yang visioner. Keunikan lainnya adalah selalu ada pola yang sama dalam hampir setiap konflik yang terjadi. Ada satu atau dua orang staff baru yang tiba tiba bergerak dan mampu mengorganisir staff lain untuk melakukan satu perlawanan. 

Staf staf itu sesudah mampu menginfiltrasi staf lainnya akan membajak (hijacking) sistem dengan intelektual organik yang lain, bukan dia sendiri. Akhirnya mereka bisa mendapat posisi yang strategis di lembaga tersebut dan kemudian akan segera keluar dari lembaga.

Fenomena di NGO itu terjadi dari Aceh sampai Papua, bahkan terjadi di NGO yang sudah mapan dan besar. Ada pertanyaan, lalu apa agenda mereka ? Agenda mereka untuk desain konflik di NGO pada level permukaan adalah persoalan "perut" ujung ujungnya duit, mencari akses sumberdaya dan kedudukan. Agenda pada level tengah adalah pelemahan simpul simpul konsolidasi masyarakat sipil, dan pada level strategis adalah sebuah thesis tentang transisi demokrasi yang tidak akan berhasil tanpa neoliberalisme.

Persoalan di NGO tersebut analog dengan anatomi konflik bangsa ini pada tataran masyarakat sipilnya, pada tataran Negara dan pada tataran pasar dengan konteks yang berbeda. Para invisible hand ini sangat halus dalam beroperasi dan sangat sangat cerdas. Kita seperti menderita satu sakit yang memubawa kita pada satu infeksi sistemik dimana tubuh bangsa ini seperti terserang oleh sistem pertahanan kita sendiri. 

Kita tidak merasakan sama sekali mereka masuk, kapan mereka masuk, dan bagaimana mereka masuk. Kita tiba-tiba saja merasakan dan menghadapi banyak masalah sistemik. 

Kita dihadapkan pada persoalan persoalan yang fundamental namun sebenarnya disaat itu kita sudah kehilangan atau hampir kehilangan hal-hal fundamental itu.

Jangan-jangan kampus juga sedang menghadapi rejim invisible hands ini untuk dihancurkan dari dalam. Kita sedang hampir kehilangan hal hal yang fundamental saat kita disibukan atau dibikin sibuk oleh hal hal fisik dan materialisme sambil kita diberikan satu imajinasi ada musuh di dalam selimut. 

Penciptaan musuh imajiner itu bisa terjadi secara alamiah karena gangguan kejiwaan namun juga bisa jadi ciptaan rejim invisible hands agar ada struktur yang berhadapan dalam posisi diametral.

Satu pihak dibikin menjadi ultra nasionalis dengan impian impian untuk menjadi yang terbaik dan paling berjasa dalam menjaga Negara. Pihak lainnya dibikin atau dibiarkan ekstrim dalam menafsirkan kehidupan keberagamaan mereka dengan impian bisa mewujudkan sistem sosial maupun sistem politik yang berbasis agama didukung hukum-hukumnya. Pertentangan dua extrimitas ini sesungguhnya lebih berbahaya dari extrimitas itu sendiri.

Antisipasi gerakan invisible hand ini bisa dilakukan dengan sikap proaktif membangun kesadaran agar kita tidak mudah terjebak konstruksi mereka.Jangan mudah terjebak dengan glamour perubahan dan ide ide pembaharuan dari luar. Jangan mudah terjebak dalam justifikasi utk kita bersikap ekstrim dalam fanatisme sempit apapun agamanya atau identitas kita.

Banyak inisiatif yang menggulirkan jaringan jaringan berkesadaran kritis ini, meski juga tidak efektif serta sering masuk angin. Jaringan personal terbukti lebih efektif daripada kelompok. 

Saya saat ini juga sedang melakukan hal penyadaran tadi secara personal tanpa membentuk struktur baru. Model jaringan sosial yang terbuka dan tidak terstruktur ini akan lebih baik untuk menghadapi hal tersebut. Proses ini penting untuk mendekonstruksi struktur struktur ciptaan baru dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi.

Ada indikasi banyak pemimpin kita masuk dalam inevitable trap (jebakan yang sulit dihindari). Salah satu jebakan itu adalah ekstrimitas dalam ideologi dan keyakinan. Ideologi bukanlah bentuk atribut jasmaniah atau fisik. Ideologi adalah bagian dari keyakinan jiwa kita yang mempengaruhi pikiran dan tidakan kira. Ideologis tidak bisa dilihat hanya dari sekedar pernyataan, yel-yel ato atribut fisik. Seseorang yang ideologis akan dilihat dari sikap dan perilakunya.

Waspadalah dengan konstruksi yang dikondisikan tercipta dari dalam kampus. Kita harus segera pulihkan kesadaran kita dalam kehidupan kampus yang memiliki budaya kemajemukan (civic plurality culture) dalam masyarakat sipil dan masyarakat kampus untuk cinta tanah air dan bangsa ini tanpa harus menjadi extrim dalam nilai-nilai kita.

(TA)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun