Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pandemi dan Turbulensi Politik Nasional

7 Juni 2020   14:11 Diperbarui: 7 Juni 2020   20:32 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kelompok berikutnya yang turut muncul dalam turbulensi politik nasional adalah kelompok sakit hati. Banyak pihak merasa sakit hati atas tindakan korektif yang dilakukan oleh jajaran pejabat pemerintah pusat. Tindakan korektif tersebut berupa sangsi disiplin administrasi, rotasi jabatan, sampai pemecatan. Bersih-bersih BUMN yang dilakukan Erick Tohir misalnya, telah banyak membuat orang sakit hati atas sangsi yang diberikan. Kelompok barisan sakit hati ini lantas kasak kusuk bersama beberapa kelompok kepentingan lainnya. 

Faktor lain yang penting untuk dicatat dalam perubahan lanskap politik nasional adalah munculnya politik identitas sebagai cara untuk melakukan mobilisasi kekuatan rakyat maupun sumber daya lainnya melalui isu-isu yang diciptakan sebagai pemicu ("trigger") gerakan politik. Potensi sumber konflik baru saat ini di dunia termasuk Indonesia adalah benturan identitas peradaban. Hal tersebut sangat jelas ditulis Prof Samuel Huntington dalam bukunya "The clash of Civilization, and the Remarking of World Order". Peta politik dunia pasca berakhirnya perang dingin dalam buku tersebut menunjukkan kekuatan peradaban barat yang mendapat tantangan signifikan oleh perkembangan peradaban Islam.

Realita politik dunia yang sangat dipengaruhi akselerasi perkembangan peradaban Islam selain berdampak positif juga menimbulkan "Islamo Phobia" bagi sejumlah golongan.

Munculnya ketakutan itu oleh sebagian elit justru dimanfaatkan untuk membuat konstruksi ketakutan sebagai sebuah desain agenda global yang berkorelasi dengan agenda neoliberalisme. Stagnasi ekonomi di beberapa negara maju yang tergabung dalam G20, memaksa para elitnya untuk melakukan komodifikasi pasar dengan menjadikan konstruksi ketakutan sebagai komoditas industri ketakutan. Ketegangan antara golongan Islam ekstrim yang berhaluan keras dengan golongan sekular dan golongan Islam inklusif moderat, terus dipelihara sebagai konflik laten yang sewaktu waktu dimanfaatkan untuk kepentingan elit politik tertentu.

Rezim Kepentingan 
Peristiwa naiknya eskalasi politik nasional saat ini tidak lepas dari rezim kepentingan dan seting agenda neoliberalisme. Sementara itu, pola gelombang demonstrasi yang terjadi sekarang berbeda dari demonstrasi tahun 1997-1998.Perbedaan itu antara lain pada ragam isu yang muncul, dan karakter pergerakannya. Isu digunakan sebagai pemicu demonstrasi dengan memanfaatkan sentimen primordial maupun sentimen emosi lain yang berangkat dari agenda reformasi 1998. Proses reproduksi isu-isu tersebut dengan ditunjang faktor kemajuan teknologi digital menjadi sangat cepat dan kompleks. Sementara karakter pergerakan politik tahun 2020 ini nampak sporadis dan relatif tidak terkonsolidasi.

Pergerakan politik sekarang ini juga diawali oleh tokoh penggerak isu dengan didukung oleh basis tingkat ketokohan yang beragam. Hal lain yang menarik untuk dicatat adalah menguatnya populisme agama sebagai alat justifikasi politik kekuasaan.

Turbulensi politik ini akan reda dengan berbagai penanganan yang kontekstual. Strategi perang proksi (proxy war) yang dibangun kelompok oposisi pemerintah harus dihadapi dengan peningkatan kesadaran berideologi Pancasila dengan penebalan pada peran proaktif berbagai elemen bangsa untuk melakukan strategi bela negara yang diperbaharui.

Menghadapi Turbulensi Politik

Pancasila sebagai ideologi negara yang digali dari sejarah bangsa Indonesia, terbukti bisa menjadi alat pemersatu. Momentum Pandemi ini, semestinya juga menjadi momentum yang menyatukan Bangsa Indonesia. Prof Syafa'atun Almirzanah, Ph.D., D.Min.(2020), berpandangan bahwa Pandemi Covid-19 telah menjadi ancaman bersama yang menyatukan (Unifying Threat) umat manusia, demikian juga menyatukan Bangsa Indonesia, apapun agamanya, apapun etnisnya, dan apapun kepentingannya.

Pertemuan arus-arus kepentingan itu yang harus kita perhatikan dengan pendekatan strategis dan penanganan menyeluruh. Arus kepentingan tersebut juga perlu dipecah sehingga tidak membawa akumulasi energi politik pragmatis yang besar. Sementara golongan relijius extrim membutuhkan kanalisasi serta strategi lain yang komprehensif dan berkesinambungan.

Pekerjaan panjang ada pada literasi politik kebangsaan dengan mengembalikan harmoni Indonesia yang mengandung makna Selaras (conformable synergy). Seimbang (Balance) dan Serasi (congenial). (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun