Semenjak nikah, saya nyaris tak ke terminal Pulo Gadung lagi bila mudik, karena saya mudik melalui terminal Kampung Rambutan ke Tasikmalaya, tempat asal istri saya. Ke Pemalang biasanya sekalian dari Tasikmalaya.
Tapi tadi pagi saya hendak mudik ke Pemalang karena majikan saya meliburkan toko mendadak selama 5 hari lantaran neneknya meninggal dunia. Kebetulan saya juga punya urusan yang harus mulai saya selesaikan di Pemalang. Maka dengan gembira saya pun menuju terminal Pulo Gadung, karena bus yang melayani trayek ke Pemalang lebih banyak di sana, juga lebih dekat dari tempat tinggal saya.
Sesampainya di terminal, di pintu utara, saya dicegat seorang pemuda yang menawarkan bus sembari menyebut nama bus yang biasa saya naiki dari dan ke Pemalang. Saya pun mengikuti dia. Tapi alangkah terkejutnya saya, ternyata pemuda itu menuntun saya ke sebuah loket bus yang belum pernah saya naiki sebelum. Tapi yang lebih mengejutkan, di sana ada seorang calo berperawakan besar dengan tampang sangar yang memaksa saya membeli tiket seharga 3 kali lipat harga ke Pemalang.
Awalnya saya menolak, tapi mereka memaksa saya dengan nada kasar agar saya tetap membeli tiket tersebut. Setelah adu mulut akhirnya saya harus membayar Rp 85. 000,-. Saya merasa tak puas dan terus memprotes dan ingin membatalkan tiket tersebut, dijawab oleh calo, tiket saya hangus. Saya terus memprotes dan bolak-balik dari tempat menungggu ke loket sehingga orang-orang di sekitar tempat itu pun memperhatikan adu mulut antara saya dengan calo. Tapi kemudian muncul 2 orang lain yang dengan kasar pula memaksa saya menuruti kemauan calo pertama. Bahkan ketika adu mulut dengan orang yang baru muncul itu, dia mengeluarkan kata yang tak senonoh (kemaluan lelaki).
Saya terus memprotes tapi mereka semakin kian kasar dan terkesan mengancam saya. Akhirnya demi keselamatan saya dan barang bawaan, saya pun terpaksa mengalah dengan hati kesal.
Tak berapa lama calo tersebut memberitahukan kalau bus sebentar lagi berangkat. Para penumpang pun naik ke bus. Di dalam bus saya pun akhirnya tahu, penumpang-penumpang lainnya pun mangalami hal yang sama dengan saya.
Ternyata bus belum juga berangkat. Dan selama menunggu keberangkatan, beberapa pedagang asongan masuk dan menawarkan dagangannya. Di antara pedagang-pedagang itu, ada yang menawarkan cincin. Demi menghindari pemaksaan lagi saya memilih tak menghiraukan tawaran pedagang cincin itu. Tapi 2 orang penumpang di bangku sebelah saya berhasil ditawari cincin tersebut. Saya hanya mencuri dengar dari bagaimana pedagang cincin itu, dan kelihatannya pedagang cincin memaksa penumpang itu untuk membeli barang dagangannya.
Hampir 2 jam menunggu, bus belum juga berangkat. Saya terus berpikir, jangan-jangan di perjalanan nanti terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Saya khawatir di tengah perjalanan ada orang lain lagi yang akan mengerjai saya karena kejadian saat membeli tiket tadi. Akhirnya saya memutuskan tak jadi berangkat mudik saat itu, meski saya mengalami kerugian tiket saya hangus.
Maka demi mencegah hal semacam itu terjadi lagi, mohon perhatian Bapak Gubernur DKI yang baru, Bapak Jokowi, untuk mengatasi masalah tersebut. Lokasi tiket tersebut di bagian timur utara terminal Pulo Gadung menghadap ke barat. Apakah mungkin pihak yang bertanggunjawab di terminal tidak mengetahui praktek kotor tersebut? Untuk membuktikan kejadian tersebut bisa dilakukan dengan penyamaran sebagai calon penumpang. Masuklah dari pintu utara yang akan mengarah ke Jalan Perintis Kemerdekaan, lalu ikuti ajakan seorang pemuda yang sudah berada di sana.
Untuk calon penumpang yang hendak mudik ke wilayah di Jalur Pantura melalui terminal Pulo Gadung, hendak berhati-hati, jangan mau diajak calo ke tempat bus, agar tak mengalami kejadian seperti yang saya alami.
Jakarta, 08 November 2102
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H