Mohon tunggu...
Tilarso -
Tilarso - Mohon Tunggu... karyawan swasta -

[saya suka puisi tapi kurang bisa berpuisi | saya gemar membaca cerpen tapi amat sukar menulis cerpen | apalagi menulis cerita panjang yang saya membacanya jarang]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harga

30 Maret 2012   23:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENDENGAR rencana kenaikan harga BBM, istri saya bereaksi datar. Seperti mendengar suatu hal yang tak istimewa. Nggak ngaruh! Padahal diluar sana terjadi gejolak menyikapi rencana pemerintah itu. Saya hanya bisa menduga, mungkin karena istri saya juga bekerja. Maksud saya karena saya dan dia juga bekerja, mungkin dalam hitung-hitungan dia -sebagai seorang istri yang pasti paham harga-harga kebutuhan- penghasilan kami berdua masih mencukupi untuk membeli kebutuhan sehari-hari dengan harga saat ini. Mungkin juga dia sudah merasa terbiasa hidup dalam keterbatasan karena bersuamikan saya. Mungkin juga dia merasa, toh bukan dia saja yang mengalami karena masih banyak istri diluar sana yang mengalami hal sama akibat dari kenaikan harga BBM tersebut. Entah mana yang benar? Jangan-jangan semua kemungkinan itu benar adanya.

Tapi tak seperti halnya istri saya, seperti rakyat kebanyakan saya pun merasakan kegundahan. Apalagi bila mengingat anak-anak. Anak-anak kami yang berjumlah tiga orang masih kanak-kanak. Mereka masih membutuhkan banyak biaya. Biaya sekolah, jajan, dan belum lagi kalau tiba-tiba sakit. Saya yang hanya seorang karyawan dengan pendapatan yang pas-pasan, bahkan kadang mesti berhutang kepada majikan bila mendadak perlu uang, merasa khawatir kalau-kalau tak bisa memenuhi kebutuhan keluarga bila nanti harga BBM dinaikkan, biarpun istri masih bekerja.

Kenapa saya merasakan kegundahan? Kalau yang naik hanya harga BBM mungkin kegundahan saya tak beralasan dan agak berlebihan. Apalagi saya tak mempunyai kendaraan bermotor. Tempat kerja saya dan istri yang tak jauh dari tempat kami tinggal, setiap hari kami jangkau dengan angkutan umum. Akan tetapi, sudah menjadi hal lumrah bila harga BBM naik maka semua kebutuhan akan mengalami kenaikan harga pula. Bahkan beberapa diantara kebutuhan tersebut telah naik harga terlebih dulu, sebelum rencana kenaikan harga BBM direalisasikan. Akibatnya penghasilan saya -yang tak terpengaruh naik seperti harga kebutuhan- bukan lagi pas-pasan tapi ngos-ngosan untuk meng-cover kebutuhan keluarga. Saya mesti mengetatkan ikat pingang yang sebelumnya sudah ketat. Apalagi bila suatu saat tiba-tiba istriku berhenti bekerja. Bisa-bisa saya mesti menjarangkan ritual mengisi kantong nasi, dari yang normalnya tiga kali menjadi dua kali, bahkan mungkin sekali saja ketika makan siang. Pagi mungkin saya sekedar ngopi atau minum teh manis saja, lalu malamnya saya ngemil kue yang harganya lebih murah ketimbang kalau saya makan. Tragis sekali! Pantas mereka sampai berdarah-darah menolak kenaikan harga BBM.

Kalau harga BBM benar-benar naik, pasti bukan hanya saya yang mengalami kegundahan. Akan banyak suami di negeri ini yang mengalami hal seperti yang saya alami. Terlebih bagi mereka yang hanya seorang diri mencari nafkah. Setiap hari harus menghadapi harga yang kian melambung dalam menjalankan aktifitas keseharian, terlebih yang hidup diperkotaan. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, kita memerlukan aneka kebutuhan, baik berupa barang maupun jasa. Untuk memperoleh semua kebutuhan itu kita harus membelinya. Membeli tentu dengan uang yang sedikit demi sedikit dikais dari memeras keringat dan membanting tulang. Kita adalah rakyat yang harus bekerja keras demi memperoleh uang, bukan pejabat yang tinggal menunggu saat gajian tiba.

Reaksi rakyat atas kenaikan harga BBM menjadi hal yang bisa dipahami karena rakyatlah yang akan merasakan langsung dampaknya. Terutama bagi mereka yang berpenghasilan tak tetap dan kaum miskin yang untuk mengganjal perut saja mesti menukar tempat antara kepala dan kaki. Bahkan tak jarang hingga harus terjerumus ke tempat yang akhirnya merendahkan harga diri sebagai manusia. Ada pula yang harus meninggalkan sanak keluarga merantau ke negeri orang demi memperoleh penghasilan yang lebih sebab mereka merasa tak punya harapan di negeri sendiri. Biarpun nasib yang didapat kadang lebih ironis. Cita-cita ingin merubah nasib tapi malah dipulangkan sudah berupa jasad, baik karena terjerat kasus hukum dengan hukuman mati maupun korban penyiksaan majikan.

Mungkin rakyat akan lebih menerima kenaikan harga BBM bila kondisi negeri memberi mereka banyak harapan. Harga BBM dinaikkan dengan alasan agar APBN tetap sehat. Sementara perilaku para penjabat yang korup yang juga mengakibatkan APBN tak sehat seperti setengah hati dalam pemberantasannya. Bahkan diantara kasus-kasus korupsi yang mengemuka dan menjadi perhatian publik, ada yang sengaja dibiarkan menjadi bola liar dan berlaru-larut penyelesaiannya demi tujuan politik. Tak perlu disebutkan kasus yang mana! Rakyat kerap gemas menyaksikan dagelan yang kerap pula dipertontonkan itu, di tengah keresahan dan kesusahan hidup. Seolah-olah rakyat itu adalah alat semata. Dipakai untuk melegalkan mereka menduduki posisi-posisi penting di negeri ini pada saat pemilu maupun pemilukada.

Yang tak habis pikir adalah ketersediaan BBM yang kerap langka. Yang sudah-sudah biarpun harganya dinaikkan, tapi masyarakat tak jarang harus mengantri berjam-jam demi mendapatkan hanya beberapa liter BBM. Bahkan kadang hingga kehabisan stok sehingga masyarakat kesulitan mendapatkannya.

Namun biar bagaimanapun, saya merasa masih beruntung karena istri saya masih bersedia meringankan beban tanggungjawab saya sebagai kepala keluarga dengan turut serta mencari nafkah. Biarpun kami berdua cuma karyawan dengan upah lebih sedikit diatas UMR untuk menafkahi tiga orang anak, kami tak tergiur untuk melakukan cara-cara rendah atau merugikan orang lain. Dan saya pun berharap kalaupun nanti harga BBM benar-benar naik, rakyat masih bisa menjaga harga dirinya dalam mempertahankan kehidupan di tengah kesulitannya karena harga-harga kebutuhan yang semakin sulit terjangkau. Harga BBM boleh saja naik namun jangan sampai berdampak pada turunnya harga diri demi mendapatkan apa yang dinamakan uang agar mudah memperoleh semua kebutuhan.

Saya juga berharap, para demonstran yang tengah memperjuangkan penolakan kenaikan harga BBM tetap menjaga ketertiban dan kerukunan. Sehingga akan tetap terpelihara harga diri kita sebagai bangsa di mata dunia. Tak perlu membandingkan, keanarkisan demonstran belum seberapa dengan tabiat banyak pejabat yang kerap mencontohkan perilaku rendah. Kita bukan mereka yang mengaku terpelajar dan terhormat justru  berperilaku seperti orang primitif. Memakan rakyat sendiri!

O ya, perihal reaksi datar istri saya atas  rencana kenaikan harga BBM, saya agak curiga. Jangan-jangan itu hanya cara dia untuk menyembunyikan kegundahannya agar tidak menambah kegundahan yang saya rasakan.

--0--

Sambil menunggu hasil sidang paripurna DPR membahas kenaikan harga BBM

Jakarta, Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun