Akar dari salah kaprah ini adalah tidak memahami mekanisme pembentukan kapital alias mekanisme perampokan nilai lebih majikan terhadap kerja buruh.
Kapital--alias profit kapitalis--bukan dihasilkan oleh penjualan komoditas di atas nilainya. Kapital dihasilkan dari nilai lebih, nilai tambah yang dihasilkan buruh namun diambil kapitalis.
Katakanlah buruh menjual tenaganya seharga Rp100 ribu per hari (8 jam kerja) di pabrik kancut. Per lembar kancut, buruh menambahkan nilai baru Rp20ribu terhadap benang. Jika dalam 4 jam buruh bisa memproduksi 5 lembar kancut, berarti nilai tambah yang diberikan buruh sudah setara upah yang ia terima, yaitu Rp100.000. Tetapi karena kapitalis mengupah buruh untuk 8 jam kerja, ada 4 jam lainnya si buruh bekerja gratis untuk si kapitalis. Karena kancut yang dihasilkan dalam 4 jam berikutnya adalah 5, maka nilai tambah Rp100.000 pada 4 jam kedua itulah nilai lebih yang dirampok kapitalis dari buruh. Rp100 ribu pada 4 jam kedua itulah profit yang ditumpuk sebagai kapital.
Jadi, ketika menuntut kenaikan upah, sejatinya buruh tidak sedang menuntut pembayaran melampaui nilai tambah yang mereka hasilkan terhadap satuan barang yang mereka produksi. Tidak. Mereka menuntut kapitalis mengembalikan sebagian dari nilai tambah yang diambil cuma-cuma oleh si kapitalis, sebagian dari nilai lebih. Dalam kasus pabrik kancut tadi, jika buruh menuntut kenaikan upah Rp50 ribu per hari, sejatinya yang dituntut adalah pengembalian separuh dari nilai lebih.
Dengan cara menuntut pengembalian sebagian dari nilai lebih yang dirampok itu, buruh berharap bisa lebih sejahtera.
Lalu bagaimana buruh bisa memaksa tanggungjawab Negara?
Ada dua jalan. Jalan pertama lewat pemogokan-pemogokan umum yang diorganisasikan serikat buruh.
Jika berhenti pada jalan pertama, setiap tahun buruh Indonesia harus rela berujukrasa, terlibat di dalam pemogokan umum. Ada kalanya menang, lebih sering kalah.
Jika ingin capaian perjuangan yang lebih permanen, tidak bisa tidak, kaum buruh Indonesia harus menempuh langkah lebih maju, yaitu secara serius mengupayakan terbangunnya kekuatan politik mandiri kaum buruh, sebuah partai politik milik buruh. Tentu saja akan lebih baik jika parpol tersebut merupakan aliansi politik kaum buruh dengan sektor-sektor rakyat tertindas lainnya (petani, kaum miskin kota, pemuda, intelektual pro-rakyat, pengusaha kecil, dll).
Selama parpol-parpol yang ada hanya milik kaum oligarkh, selamanya kebijakan publik memihak oligarkh dan kapitalisme, selamanya tingkat upah tidak akan bergeser jauh dari level subsistence.***
Artikel diback up pula di Omgege.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H