Mobilisasi jelas berbeda dengan partisipasi. Dalam partisipasi, pelaku adalah subjek  otonom. Dalam mobilisasi, pelaku cuma objek penyerta yang digerakkan subjek lain, termasuk dengan insentif finansial seperti yang selama ini dikritik banyak orang.Â
Bung Fadjroel mengubah kasus kelas menengah, dari nominativus menjadi ablativus, sekadar alat elit untuk menjangkau rakyat, meraih ketundukan rakyat.
Saya kira Bung Fadjroel tidak akan terlalu jauh melakukan denial kenyataan adanya pengakuan sejumlah influencer -- Aditya Fadila, Gofar Hilman--bahwa mereka dikontrak sebagai influencer, tetapi tanpa dibicarakan dengan jelas terlebih dahulu, diminta pula membuat konten propaganda RUU Cipta Kerja.[CNBCIndonesia.com]
Gofar Hilman dan Adiya Fadila tidak terlibat dalam perdebatan kekuasaan---pro-kontra RUU Cipta Kerja---sebagai bentuk partisipasi melainkan dimobilisasi melalui kontrak. Mereka dibayar untuk itu. Pelibatan mereka sama sekali bertentangan dengan prinsip demokrasi: partisipasi.
Bahkan, karena mobilisasi menjadikan influencer kanal baru hegemoni, praktik itu dengan sendirinya bertentangan vis-a-vis demokrasi.
Rupanya tidak butuh satu dekade dalam kekuasaan untuk mengubah klaim iman Fadjroel, dari seorang yang menepuk dada sebagai representasi kaum demokrat sejati menjadi pembela praktik-praktik baru anti-demokrasi. Ah, sudahlah. Soska memang tidak pernah bisa diharapkan.***
[Baca juga: "Bioskop Buka dan Peran Pemerintah sebagai "Orangtua Ideal"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H