Bung Fadjroel tentu punya alasan sendiri, serangkaian argumentasi penyokong pendiriannya tentang peran kelas menengah, entah yang genuine ia kembangkan sendiri, pun yang diwarisinya dari para pendahulu, yang bahkan bisa ditarik hingga Eropa awal 1900an atau tahun-tahun yang lebih lampau lagi. Saya tidak sedang memperdebatkan itu.
Yang bikin saya terkejut adalah perubahan cara pandang Bung Fadjroel terhadap peran kelas menengah. Ada dua hal tampaknya sudah jungkir balik 180 derajat.
Simak pernyataan Bung Fadjroel.
"Perkembangan masyarakat digital dengan peranan para aktor digital (salah satunya influencer) umumnya adalah kelas menengah adalah keniscayaan dari transformasi digital. ... Â para aktor digital menjadi pemain penting perubahan paradigma dari top-down strategy ke participative strategy, di mana publik berpartisipasi aktif dalam komunikasi kebijakan."[Tirto.id]Â
Sebagian pernyataan tersebut masih menunjukkan Bung Fadjroel yang dulu, yang begitu puritan imannya terhadap kepeloporan kelas menengah. Tetapi bagian lain sudah 180 derajat berkebalikan.
Dahulu Bung Fadjroel percaya peran kelas menengah sebagai oposisi kritis. Kritik atau kritisme adalah benang merah yang Bung Fadjroel jadikan pengikat demokrasi-kelas menengah-kekuasaan negara.Â
Cek saja kumpulan gagasan Fadjroel dalam bukunya---kumpulan kredo masa lampau yang sudah ia campakkan sendiri itu---Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat.
Bagaimana kini Bung Fadjroel memandang posisi kelas menengah? Sebagai instrumen baru hegemoni penguasa! Dahulu kelas menengah itu identik dengan kritisisme, kini kelas menengh menjadi bala penumpas kritik.Â
Di mata Bung Fadjroel kini, kelas menengah sebagai "aktor digital" berperan sebagai penyambung lidah pemerintah "berpartisipasi aktif dalam komunikasi kebijakan." Inilah banting setir pertama gagasan Bung Fadjroel.
Yang kedua, Bung Fadjroel berupaya mengaburkan, bahkan menghapus sama sekali demarkasi tegas antara partisipasi dengan mobilisasi.
Saya kira pemikiran yang waras tentang partisipasi adalah sebagai keterlibatan berbasis kesadaran dan voluntarisme. Dengan kesadaran, individu terlibat dalam perdebatan politik, menyuarakan kepentingannya, kaumnya, atau --seperti peran kenabian kelas menengah yang Bung Fadjroel yakini---menyuarakan keresahan dan kepentingan rakyat.