"Ya jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal, harus jelas. Tentang nanti ada sebuah rekonsiliasi dari fakta-fakta ya tidak soal. Harus jelas dong. Masa sekian lama 13 orang bisa ndak ketemu tanpa kejelasan.” – Joko Widodo, 9/6/2014.
Kalimat di atas disampaikan Presiden Joko Widodo di Media Center Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat.
Jokowi bahkan memberi sentuhan pribadi. "Wiji Thukul itu saya sangat kenal baik. Dia kan orang Solo. Anak-istrinya saya kenal. Puisi-puisinya saya juga tahu."[1]
Bukan cuma terucap lepas, penyelesaian pelanggaran HAM masa lampau tercetak dalam butir keempat Sembilan agenda prioritas Pemerintahan Joko Widodo periode pertama, Nawacita.
Semenjak janji itu, orang-orang menunggu langkah konkrit. Mungkin saja seorang penyihir mengayunkan tongkatnya, lalu abrakadabra, kata-kata Jokowi menjelma Godot dan kembara ke negeri-negeri yang jauh di antah berantah.
Sayangnya rakyat bukan Vladimir dan Estragon. Rakyat tahu persis apa yang mereka tunggu. Karenanya, tahun demi tahu pula, dalam setiap kesempatan yang mungkin, rakyat menagih janji Jokowi.
Januari, 2017, putra Wiji Thukul, Fajar Merah bicara dalam jumpa pers di kantor YLBHI.
"Saya cuma pingin ngomong sama Pak Presiden itu karena saya yakin mata saya ini masih normal dan Pak Presiden juga punya telinga sama seperti kita semua. Semoga ini disampaikan pada hati beliau. Jadilah Presiden sebagaimana mestinya Presiden itu, kalau dirasa punya janji ya ditepati."[2]
Bahkan setiap hari Kamis selama lebih dari 13 tahun, aktivis dan keluarga korban berderet-deret kejahatan HAM sepanjang sejarah negeri ini setia berdiri di depan istana untuk menuntut penyelesaian pelanggaran HAM. Sudah lebih dari 600an kali Aksi Kamisan digelar[3], lebih dari 267 kali surat mengingatkan pemerintah dilayangkan.[4]
Akan tetapi sama saja. Janji-janji terucap dan tercetak dalam dokumen-dokumen kampanye masih uap di udara bebas. Tidak ada tanda-tandanya ia mengembun sehingga kita boleh sumringah melihat indah wujudnya di tepi daun.
Aksi Kamisan Menuntut Penuntasan Kasus Kejahatan HAM [Tirto.id]Awal Agustus lalu, Menko Polhukam Mahfud MD memancing kegaduhan publik dengan kicauan twitternya. Pak Mahfud menginformasikan, politisi Fadli Zon dan Fahri Hamzah akan menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya.
Banyak orang tidak habis pikir, bagaimana bisa justru Fadli dan Fahri dinilai layak menerima penghargaan itu. Menyatakan kekecewaannya, penulis kondang Khrisna Pabhicara melempar artikel berjudul, “Fahri Hamzah dan Fadli Zon Terima Gelar, Munir dan Widji Thukul Terima Doa.”
“Bahkan, bagi saya, Munir dan Widji Thukul layak mendapat Bintang Kehormatan yang lebih tinggi dibanding Bintang Mahaputera. Kedua tokoh tersebut bisa diusulkan setidaknya untuk menerima Bintang Republik Indonesia Nararya,” tulis Khrisna.[5]
Khrisna dan semua orang yang berharap serupa lupa kalau Wiji Thukul, Munir, dan aktivis-aktivis yang hilang itu cuma punya jasa membuka ruang demokrasi sehingga tokoh daerah yang bukan bagian dari oligark lama bisa jadi Presiden. Tetapi merangkul Fahri dan Fadli dengan kembang gula Bintang Mahaputera Nararya lebih bermanfaat untuk menjaga soliditas koalisi besar.
Urusan meraih kekuasaan sudah jadi masa lampau. Ini periode kedua, Bung. Tak ada beban lagi untuk menoleh ke belakang. Yang paling penting saat ini adalah mencegah kekuasaan tumbang di tengah jalan.
Sebab yang terpenting bagi kekuasaan borjuasi Indonesia adalah meraih dan menjaga kekuasaan. Memanfaatkan kekuasaan untuk melayani rakyat cuma prioritas dalam pidato-pidato.
Rabu, 26 Agustus adalah peringatan hari ulang tahun Wiji Thukul. Mungkin ini saat yang baik untuk kembali mengingatkan Presiden Joko Widodo.
Kita pakai saja kata-kata yang pernah Jokowi ucapkan. “Masa sekian lama 13 orang bisa ndak ketemu tanpa kejelasan?” Kini sudah 6 tahun sejak Pak Jokowi jadi presiden.
Apa langkah yang sudah sungguh-sungguh dibuat untuk menemukan Thukul dan para korban penghilangan paksa lainnya? Apa kendalanya sampai belum berhasil juga?
[Baca juga: Hubungan Aneh Wiji Thukul dan Kemerdekaan]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H