Pada 17 Agustus, bangsa ini  peringati hari Kemerdekaan dari pejajahan telanjang kekuatan politik asing. Hari ini, 26 Agustus, sebagian orang mengenang hari lahir Wiji Thukul. Thukul dan kemerdakaan layaknya sejoli yang semesta takdirkan abadi saling merindu. Tetapi hubungan keduanya unik dan kadang berkonflik.
Tema besar puisi-puisi Wiji Thukul adalah kemerdekaan. Puisi Wiji bisa berupa suara jelata merindu kemerdekaan dari kemiskinan yang sehari-hari menjerat. Kata-kata Wiji hadir sebagai teriakan marah buruh oleh terampasnya kemerdekaan mereka di pabrik atau petani yang tidak merdeka di atas lahan sendiri. Sering pula puisi Wiji adalah seruan kepada rakyat agar bangkit merebut kemerdekaan yang terampas.
Comot saja sembarang puisi Wiji Thukul. Tiga dari lima cabutan serampangan adalah puisi yang serta-merta dipahami sebagai pesan pembebasan dari belenggu, dari bentuk-bentuk penjajahan di dunia Indonesia modern.
"Bagaimana kau akan membungkamku? Penjara sekalipun tak bakal mendidikku jadi patuh," bunyi bait dalam "Puisi Menolak Patuh".
Dalam puisi "Ceritakanlah Ini Kepada Siapapun" yang menceritakan penenggelaman rakyat Kedung Ombo, Thukul menulis di bait akhir,"Walau Senjata ditodongkan kepadamu. Walau sepatu di atas kepalamu, di atas kepalaku, di atas kepala kita. Ceritakanlah ini kepada siapapun. Sebab cerita ini belum tamat".
"Ini tanah airmu. Di sini kita bukan turis," bait penutup "Sajak Kepada Bung Dadi".
Akan tetapi Wiji Thukul tidak pernah ramah terhadap selebrasi kemerdekaan Agustus 1945, monumen kemerdekaan paling gagah dalam sejarah bangsa ini.
Simak saja penggalan "Tiga Puisi Pedek" ini.Â
Panas aspal jalanan musim buruk
Dan matahari yang demam
melelehkan hari-hari besar maupun biasa
Lebaran, Natal, 17 Agustus..., ah, apa artinya?
Yang paling gila, favorit saya, puisi berjudul "Puisi Kemerdekaan." Â Sangat singkat, "Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tai!"
Seorang kawan, tandem Wiji Thukul di masa lampau yang hingga kini masih jadi pengurus Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), organisasi pekerja seni yang pernah Thukul pimpin, menceritakan, puisi itu Wiji sampaikan dalam sebuah acara kemerdekaan di sebuah kelurahan di Solo pada awal 1980an.