Masyarakat dan pemeritah desa mengundangnya membaca puisi dalam perayaan kemerdekaan tingkat desa. Thukul tidak siap. Tetapi di atas panggung serta-merta kata-kata itu menari di kepalanya. Ia muntahkan begitu saja. "Kemerdeaan adalah nasi. Dimakan jadi tai".
Gara-gara itu, Thukul digelandang tentara untuk diperiksa. Begitu pula para pejabat desa.
Thukul mencintai kemerdekaan, mendamba dan memperjuangkannya dengan segenap jiwa raga. Tetapi ia mencintai kemerdekaan yang merdeka, bukan kemerdekaan sebagai pemeran pengganti yang bertopeng.
Melalui 'pelecehannya' terhadap seremoni kemerdekaan Agustus 1945, Thukul sepertinya hendak mengingatkan  pesan Bung Karno bahwa deklarasi 17 Agustus 1945 itu belumlah sungguh-sungguh sebuah kemerdekaan. Itu hanya jembatan emas menuju kemerdekaan sejati di kemudian hari.
Sebagaimana pesan Sukarno pula, pewujudan kemerdekaan sejati di kemudian hari itu tidak mudah sebab penjajah yang akan dihadapi jelata adalah elit-elit bangsa sendiri. Ya. Elit yang membajak kemerdekaan untuk kemakmuran diri sendiri.
Dirgahayu Indonesia, panjang umur perjuangan, happy birthday Wiji Thukul.
[Baca pula: "Tolak Komodifikasi Vaksin Covid-19, Jadikan Posyandu Sebagai POD"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H