Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ancaman Pasca-Temuan Vaksin Covid-19

22 Agustus 2020   14:28 Diperbarui: 22 Agustus 2020   23:07 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semoga bakal vaksin Covid-19 yang diimpor dari Cina lolos uji klinis tahap ketiga sehingga Indonesia sudah bisa memproduksinya di awal 2021. Tetapi problem belum selesai. Masih ada titik kritis pasca-produksi vaksin, yang jika tidak dipikirkan dan diambil langkah solusinya sejak sekarang akan menjadi ancaman bahkan pemicu petaka.

Sudah lebih dari lima bulan semenjak kasus Covid-19 pertama di Indonesia terkonfirmasi (2 Maret 2020), semenjak itu kita hidup dalam kecemasaan. Kabar berita berisi pertengkaran politik yang berpangkal pada kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang dinilai lemah.  Rumah tangga rakyat bertambah miskin. Banyak aset terjual dan tabungan terkuras untuk menutupi biaya hidup. Begitu pula kematian kerabat oleh Covid-19 sisakan duka sesakkan hati.

Meskipun demikian, ada pula hal-hal patut disyukuri atau setidaknya memberi alasan kita menarik dan menghembuskan napas lega, bahwa di ujung terowongan krisis kesehatan ini ada pendar buram cahaya harapan.

Yang pertama, sekalipun kurva pertumbuhan kasus Covid-19 masih menanjak, belum menunjukkan tanda-tanda signifikan pelandaian,  kita boleh lirih batinkan syukur karena tingkat kematian Covid-19 di Indonesia berhasil diturunkan. Per Agustus, fatality rate Covid-19 di Indonesia sebesar 4,35 persen. Angka ini memang masih lebih besar dibandingkan dengan rata-rata dunia yang sebesar 3,5 persen.[1] Tetapi kita patut bernapas lega, mengingat pada Maret 2020 tingkat kematian pasien Covid-19 Indonesia mencapai 9,3 persen dan merupakan yang tertinggi di dunia.[2]

Penurunan fatality rate bisa berarti dua hal positif. Pertama, rumah sakit sudah lebih siap menangani kasus Covid-19 akut. Kedua, penemuan penderita lewat tracking dan rapid test sudah lebih baik. Lazimnya penurutan fatality rate merupakan dampak meningkatnya proporsi temuan asymptomatic carrier, yang berarti pula kian besar cakupan tes corona terhadap masyarakat.

Kedua, kita juga patut mensyukuri, pandemic Covid-19 tidak terlalu parah berdampak kelangkaan pangan di tengah masyarakat dan tidak mengarah ke kerusuhan sosial.

Hal ini bisa jadi indikator, di tengah banyak kelemahan, kebijakan bansos dan penjagaan ketersediaan pangan cukup mampu menjadi jaring pengaman sosial bagi masyarakat. Demikian pula solidaritas di kalangan akar rumput -- seperti masyarakat agraris pedesaan menampung arus balik imigran buruh yang kehilangan pekerjaan di kota -- masih cukup kuat.

Hal ketiga yang patut disyukuri adalah perkembangan pengembangan vaksin Covid-19.

Pada 19 Juli lalu, 2.400 dosis calon vaksin Covid-19 yang diimpor dari Sinovac Biotech Ltd tiba tanah air.  Pemerintah sudah pula memulai uji klinis tahap III calon vaksin tersebut. Presiden Joko Widodo menyaksikan langsung penyuntikan calon vaksin kepada sejumlah relawan di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung.

Uji klinis tahap ketiga butuh waktu enam bulan. Jika lolos --kita doakan demikian--- pada awal 2021 nanti Biofarma sudah bisa memulai produksi massal.

Kabar baik lainnya, pada 20 Agustus, Indonesia-RRC menandatangani Prelimenary Agreement of Purchase and Supply of Bulk Production of Covid-19 Vaccine. Perjanjian ini berisi jaminan suplai 50 juta dosis konsentrat Ready to Fill (RTF) vaksin Covid-19 dari Sinovac kepada Biofarma sejak November 2020 hingga Maret 2021. RTF vaksin Sinovac ini selanjutnya diolah Biofarma menjadi vaksin siap pakai.[3]

Akan tetapi kabar ini juga bikin cemas sebab meskipun vaksin Sinovac lolos uji klinis, tidak serta merta awal 2021 nanti tersedia vaksin Covid-19 bagi 270 juta penduduk Indonesia. Hingga Maret 2021 hanya akan ada 50 juta dosis atau hanya memenuhi kebutuhan tidak sampai 20 persen penduduk Indonesia.

Lalu bagaimana dengan 220 juta lainnya? Apakah mereka tidak akan menerima vaksin?

Tentu saja mereka akan menerima vaksin. Menteri Erick Thohir katakan, kerjasama Biofarma-Sinovac bukan Cuma transaksi jual-beli vaksin. Ada alih tekonologi dalam kerjasama tersebut sehingga kelak Biofarma dapat memproduksi vaksin secara mandiri. Artinya 80an persen penduduk Indonesia diharapkan mendapatkan vaksin produksi asli Indonesia.

Lalu, apakah masalah selesai dengan itu?

Tidak! Produksi dan terutama distribusi vaksin butuh waktu. Katakanlah paling singkat dua tahun hingga seluruh rakyat Indonesia memperolehnya. Selain itu, ada tiga problem terkait distribusi vaksin Covid-19 kelak, membuatnya menjadi titik genting penanganan Covid-19 pasca-produksi vaksin.

Pertama, karut-marut data kependudukan kita. Masih banyak penduduk tidak terdata dengan baik. Penduduk dewasa tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk dan kartu keluarga; anak-anak tidak punya akta lahir. Belum lagi perbedaan data dalam dokumen kependudukan dengan tempat domisili.

Sengketa Daftar Pemilih dalam pilres, pemilu, pilkada atau kasus bansos salah sasaran merupakan bukti problem kronis administrasi data kependudukan kita.

Jika persoalan ini tidak segera dibenahi, akan cukup besar jumlah penduduk yang tidak mendapatkan vaksin. Akan banyak pula kasus kelebihan persediaan di satu wilayah tetapi defisit di wilayah lainnya.

Persoalan kedua terkait mental orang Indonesia yang tidak akrab dengan budaya antre. Lihat saja kerusuhan-kerusuhan yang terjadi saat pembagian zakat. Tawuran-tawuran antar-penonton sepakbola atau konser dandut juga sering bermula dari senggol-senggolan saat menyerobot antrean.

Coba lihat juga perilaku berlalulintas. Pengendara saling serobot meraih ruang kosong, bising klakson, ataukah aksi-aksi terobos lampu merah adalah wujud rendahnya budaya antre.

Ketiga, dibandingkan jelata, kalangan elit adalah yang paling rendah penghormatannya terhadap budaya antre. Elit Indonesia terbiasa dimanjakan privilese, termasuk selalu didahulukan dalam layanan publik. Jika privilese tersebut tidak diatur resmi, elit akan memanfaatkan pengaruh politik dan uang untuk memperolehnya. Mereka akan menyogok dan memanfaatkan tekanan politik agar diri dan keluarganya didahulukan mendapatkan vaksin Covid-19.

Perilaku elit yang demikian akan menjadi siraman bensin ke tengah ilalang kecemasan dan keresahan. Api kemarahan rakyat bisa berkobar tanpa kendali.

Tiga problem ini, secara bersama-sama pun terpisah, berpontensi mempertebal keresahan bahkan memicu kerusuhan. Meski cuma fillm Hollywood, Contagion (produksi Warner Bros. Pictures, 2011) bisa memberi cukup gambaran tentang ini.

Nah, harapan kita, Pemerintahan Jokowi sudah mulai merancang dan mengambil langkah-langkah membangun sistem komprehensif distribusi vaksi Covid-19. Enam bulan adalah waktu yang terlampu singkat untuk disia-siakan sedetik pun. Apapalagi jika mengingat penyelenggaraan pemilu dan distribusi bansos yang sudah sering kita laksanakan saja masih terus-menerus pula bermasalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun