Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sederhanakan Kurikulum, Setop Jadi Bangsa Mubazir

1 Agustus 2020   06:13 Diperbarui: 22 Agustus 2020   16:47 1998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah daring itu merepotkan, terutama bagi anak-anak di bangku pendidikan SD. Sebaliknya sekolah luring membahayakan, juga terutama bagi anak-anak SD. Masyarakat terbelah dalam pilihan hitam-putih. Sebagian menentang sekolah luring, menolak tatap muka seperti biasa. Sebagian lagi menghendaki pengakhiran sekolah daring. Pemerintah pun seperti bimbang di antara dua pilihan itu.

Padahal, luring atau daring seharusnya bukan pilihan hitam-putih. Luring dan daring bisa jadi opsi kondisional yang bergantung karakteristik daerah. Daerah bisa berarti pulau, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, hingga rukun tetangga.

Di daerah-daerah padat penduduk, terutama di kawasan perkotaan yang masih tinggi tingkat penularan Covid-19, mengirim anak-anak ke sekolah sama saja mengirim mereka ke rumah jagal.

Melihat rendahnya kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protocol cegah penularan, siapa bisa menjamin pihak sekolah dapat secara ketat memastikan murid-murid yang bandel-bandel itu patuh menerapkan protokol kesehatan?

Si Badrun datang dari keluarga yang masa bodoh terhadap protokol kesehatan. Ibunya masih saja ikut arisan di mana-mana; ayah masih suka kumpul-kumpul di kedai kopi.

Badrun bebas bermain bersama kawan-kawan sekampung yang perilaku orang tuanya serupa ayah-ibu Badrun. Jika Badrun teman sekelas anak kita, apakah kita rela mengirim kembali anak untuk duduk seruangan dengan Badrun?

Akan tetapi di desa-desa, terutama di daerah terpencil, sekolah daring berarti pengabaian hak anak atas pendidikan. Dengan kepadatan dan mobilitas penduduk rendah, dan tingkat penularan Covid-19 yang rendah pula, bukankah sebaiknya sekolah-sekolah di wilayah seperti ini dibuka saja? Tentu saja dengan pelaksanaan protokol cegah penularan yang ketat.

Jikapun sesekali sekolah abai dalam penegakan protokol, risikonya tidak terlalu besar sebab lingkungan masyarakat di sana juga relatif bebas Covid-19.

Lalu bagaimana dengan di kota-kota? Bukankah banyak orang tua tidak sanggup membelikan smartphone untuk kepentingan anak mengikuti kelas daring? Bukankah tidak banyak orang tua sanggup membiayai pulsa internet?

Jawaban untuk problem ini mudah. Pemerintah subsidi saja pengadaan perangkat belajar daring, distribusikan ke anak-anak melalui pihak sekolah. Pemerintah buat saja kebijakan tarif internet murah untuk mengakses aplikasi yang dibutuhkan dalam kegiatan belajar-mengajar daring.

Terus, bagaimana dengan kerepotan orang tua untuk mendampingi anak belajar dan mengerjakan tugas sekolah?

Banyak sekali orang tua mengungkapkan kejengkelan di media sosial tentang betapa repotnya mendampingi anak belajar. Apalagi, tugas dari sekolah sering aneh-aneh dan menambah kerepotan tak perlu, seperti kewajiban presentasi tugas dalam format video yang dalam seminggu bisa 3-4 kali.

Kini setiap pagi hingga siang, bahkan kadang-kadang hingga malam hari, terdengar suara bapak/ibu tetangga depan, samping, dan belakang rumah mengajari anaknya. Seringkali diselingi nada kesal dan ungkapan kemarahan.

Demikian pula percakapan dan perdebatan saya dan istri hampir setiap malam tentang metode dan teknik apa yang perlu kami coba untuk membantu putra kami lebih memahami pelajaran-pelajaran sekolah. 

Kenyataan bahwa sekolah daring merampas banyak waktu membaca dan riset mandiri putra saya membuat saya khawatir minatnya yang khas akan hilang. Ia suka sejarah dunia. Sebelum masa pandemi, malam hari ia selalu ceritakan sejarah masa lampau negeri-negeri Eropa. Kini syukur-syukur jika ada sehari dalam seminggu ia ceritakan saya kisah-kisah sejarah. Hari-harinya terlalu dilelahkan beragam tugas sekolah.

Secara umum, sekalipun sering dimarahi orang tua -- yang memang tidak mendapat pendidikan kesabaran selayaknya guru -- masih beruntung anak-anak SD yang ayah atau ibunya belum bekerja normal.

Bagaimana dengan anak yang kedua orang tuanya sudah bekerja seperti biasa? Siapa yang membantu mereka memahami pelajaran yang disampaikan guru? Siapa yang mengawasai mereka menyelesaikan tugas yang diberikan sekolah?

Dalam evaluasi proses belajar daring di kelas anak saya, teman-temannya yang punya lebih dari seorang saudara usia SD lebih jarang mengumpulkan tugas-tugas sekolah. Saya paham, betapa repot orang tua dengan lebih dari seorang anak usia SD mendampingi anak-anaknya.

Lalu, apa solusi atas persoalan ini? Kurikulum new normal!

Indonesia ini negeri aneh. Beban belajar anak-anak SD di negeri ini 2-3 kali lebih berat dibandingkan anak-anak seusia di negara-negara lain. Padahal kualitas pendidikan di negara-negara yang hanya sedikit memberi beban belajar kepada anak justru jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.

Di Indonesia ada begitu banyak mata pelajaran mubazir; ada sangat banyak tema-tema tak perlu dan tak cocok umur.  Anak-anak SD di Indonesia dipaksa mempelajari pengetahuan yang tidak dimengertinya -- sebab masih sangat abstrak bagi dunianya dan abstrak pula bahasa yang digunakan dalam buku-buku ajar -- dan akan segera dilupakannya.

Tema yang sama pula akan diberikan di jenjang SMP dan SMA. Lalu untuk apa tema-tema itu harus disodori kepada anak SD hanya untuk dilupakan begitu ujian kenaikan kelas berakhir?

Hemat saya, sudah saatnya kurikulum pendidikan disederhanakan. Cukup pelajaran etika, bahasa, dan matematika. Ditambah juga pelajaran agama.

Sementara IPS, mulog, IPA-biologi dan pendidikan kewarganegaraan bisa dimasukkan ke dalam pelajaran bahasa dan etika. Pelajaran IPA--Fisika bisa dipadukan dengan matematika.

Contohnya pengajaran konsep bilangan negatif di matematika disatukan dengan pengajaran tentang suhu di IPA-Fisika. Pelajaran tentang operasi bilangan pecahan dipadukan dengan pelajaran tentang konsep kecepatan atau tema lain yang penyelesaian soalnya menuntut pemahaman operasi kali-bagi pecahan.

Baca juga: "Djoko Tjandra Pintar dan Licik ataukah Polisi yang Kurang Ditatar?"

Begitu pula pelajaran IPS tentang keanekaragaman budaya di Indonesia; disatukan saja dengan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang hakikat Sila Ketiga Pancasila, dan pelajaran Mulog tentang kebudayaan di daerah si anak.

Kian banyak pelajaran, kian banyak tugas, kian tertekan anak dan orang tua selama masa  belajar dari rumah.

Akan tetapi sekalipun kondisi sudah normal dan anak-anak kembali bersekolah seperti biasa pun, pengurangan beban belajar tetap sangat dibutuhkan.

Memaksakan anak mempelajari terlalu banyak hal hanya berdampak terampasnya kebahagiaan mereka. Ironis, kebahagian itu ditukar dengan beban belajar hal-hal yang  'cuma sampah'  sebab terlalu abstrak untuk pengalaman material mereka, akan segera mereka lupakan, dan dipelajari lagi di jenjang lebih tinggi.

Berhentilah jadi bangsa mubazir, saatnya menyusun kurikulum normal baru: kurikulum yang lebih bermakna dan tidak membebani anak dengan kesia-siaan.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun