Tema yang sama pula akan diberikan di jenjang SMP dan SMA. Lalu untuk apa tema-tema itu harus disodori kepada anak SD hanya untuk dilupakan begitu ujian kenaikan kelas berakhir?
Hemat saya, sudah saatnya kurikulum pendidikan disederhanakan. Cukup pelajaran etika, bahasa, dan matematika. Ditambah juga pelajaran agama.
Sementara IPS, mulog, IPA-biologi dan pendidikan kewarganegaraan bisa dimasukkan ke dalam pelajaran bahasa dan etika. Pelajaran IPA--Fisika bisa dipadukan dengan matematika.
Contohnya pengajaran konsep bilangan negatif di matematika disatukan dengan pengajaran tentang suhu di IPA-Fisika. Pelajaran tentang operasi bilangan pecahan dipadukan dengan pelajaran tentang konsep kecepatan atau tema lain yang penyelesaian soalnya menuntut pemahaman operasi kali-bagi pecahan.
Baca juga: "Djoko Tjandra Pintar dan Licik ataukah Polisi yang Kurang Ditatar?"
Begitu pula pelajaran IPS tentang keanekaragaman budaya di Indonesia; disatukan saja dengan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tentang hakikat Sila Ketiga Pancasila, dan pelajaran Mulog tentang kebudayaan di daerah si anak.
Kian banyak pelajaran, kian banyak tugas, kian tertekan anak dan orang tua selama masa  belajar dari rumah.
Akan tetapi sekalipun kondisi sudah normal dan anak-anak kembali bersekolah seperti biasa pun, pengurangan beban belajar tetap sangat dibutuhkan.
Memaksakan anak mempelajari terlalu banyak hal hanya berdampak terampasnya kebahagiaan mereka. Ironis, kebahagian itu ditukar dengan beban belajar hal-hal yang  'cuma sampah'  sebab terlalu abstrak untuk pengalaman material mereka, akan segera mereka lupakan, dan dipelajari lagi di jenjang lebih tinggi.
Berhentilah jadi bangsa mubazir, saatnya menyusun kurikulum normal baru: kurikulum yang lebih bermakna dan tidak membebani anak dengan kesia-siaan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H