Saya punya kepingan ingatan dari masa remaja, saat kakek-nenek masih hidup. Ketika itu di rumah-rumah orang Manggarai, setidaknya di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, selalu ada pohon jeruk nipis dan rumpun kemangi di halaman belakangnya. Padahal orang Manggarai tidak menjadikan jeruk nipis dan kemangi sebagai komoditas, juga tidak suka masakan yang asam-asam. Lalu mengapa?
Ah. Ini problem di gunung berjawab di laut. Ikang Cara!
Ikang Cara adalah pangan khas orang Manggarai dan paling populer di tiga kabupaten Manggarai. Ia olahan asinan satu jenis ikan pipih berduri di punggung.
Kata artikel Kompas, "Ikan 'Cara', Berlimpah tetapi Langka" ciri-ciri Ikang Cara "Sepintas, ...mirip ikan baronang (Siganus limeatus)". Hanya mirip jika diperhatikan sepintas saja. Di Kupang, orang-orang menyebut ikan yang sangat menyerupai Ikang Cara sebagai ikan lada.
Sejatinya Ikang Cara adalah ikan asin. Ketika dijual sebagai ikan segar -- semenjak infrastruktur jalan raya menjadi lebih baik pada 1990-an -- ia disebut Cara ta'a. Ta'a artinya mentah atau hijau.
Saya menolak repot mendeskripsikan ciri Ikang Cara. Karena itu Anda bisa lihat saja pada gambar berikut. Sangat baik jika pada kolom komentar nanti Anda bantu menjelaskan nama ikan ini dalam versi bahasa Indonesia atau versi bahasa daerah Anda. Mungkin dengan itu kita bisa menelusuri nama Latin Ikang Cara dan dengan demikian menjadi lebih mengenalinya.
Namun benarlah kata para tetua, tiada hal sempurna di kolong langit. Meski sangat nikmat, Ikang Cara beraroma tajam menusuk hidung.
Nah, karena aroma tajam menusuk itu, orang Manggarai zaman dahulu -- di masa kakek-nenek saya masih hidup -- selalu memadukan Ikang Cara dengan sambal daun kemangi. Isinya cuma cabai, irisan tomat, dan daun kemangi. Harum kemangi akan mengimbangi aroma tajam Ikang Cara.