Pertama, sebagaimana pemberitaan Tempo,25 dari 30 perusahaan yang mendapat izin ekspor lobster baru didirikan 2-3 bulan lalu. Jadi kita bisa berkesimpulan, perusahaan-perusahaan ini didirikan untuk merespon liberalisasi ekspor lobster Menteri KKP asal Gerindra.
Ini seperti praktik lazim kemarin-kemarin dalam program pengembangan komunitas di sejumlah kementerian dan pemerintah daerah. Sebelum program diluncurkan resmi, kelompok-kelompok masyarakat dadakan didirikan untuk menerima dana bantuan tersebut. Uniknya, pendirian kelompok-kelompok ini sering difasilitasi orang-orang parpol yang punya afiliasi ke kementerian pemilik program.
Ini pula kesan kuat yang muncul dari profil perusahaan-perusahaan penerima izin ekspor. Mereka baru didirikan beberapa bulan lalu tetapi sudah ada ekspor pada 12 Juni, hanya sebulan setelah beleid Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 diundangkan (4 Mei).
Padahal, untuk bisa mendapat izin sebagai eksportir, di atas kertas perusahaan-perusahaan ini diwajibkan memiliki fasilitas pembudidayaan.
Kedua, menjadi lebih mencurigakan lagi setelah terbongkar bahwa beberapa perusahaan dimiliki dan berafiliasi dengan elit-elit Partai Gerindra dan elit politik lain yang dekat dengan Gerindra.
Lihatlah sejumlah nama yang terbongkar oleh penelurusan Tempo berikut:[4]
Hashim Djojohadikusumo sebagai komisaris  PT Bima Sakti Mutiara;
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo selaku Direktur Utama PT Bima Sakti Mutiara;
Ahmad Bahtiar Sebayang selaku Komisaris  PT Royal Samudera Nusantara;
Rauf Purnama, Dirgayuza Setiawan, Simon Aloysius Mantiri, Sakti Wahyu Trenggono, Sudaryono, Â dan Sugiono di PT Agro Industri Nasional (Agrinas);
Iwan Darmawan Arasdi di PT Maradeka Karya Semesta.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!