"Badiou was right to say that the name of the ultimate enemy today is not capitalism, empire, exploitation or anything of the kind, but democracy: it is the 'democratic illusion', the acceptance of democratic mechanisms as the only legitimate means of change, which prevents a genuine transformation in capitalist relations."
Demikian kata Slavoj Zizek dalam artikel ringkasnya di situs London Review of Books, mengomentari artikel Anne Applebaum di Washington Post.[1]
Slavoj Zizek, Alan Badiou, juga sejumlah nama lain, seperti pasangan suami-istri, alm. Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe adalah para filsuf yang sekitar 10 tahun terakhir ini mendapat perhatian besar para pembelajar Indonesia -setidaknya di kalangan orang-orang muda yang saya kenal.
Saya duga, popularitas mereka di Indonesia dipengaruhi oleh pikiran-pikiran mereka yang memang radikal dan provokatif. Di sisi lain, mendiskusikan karya-karya mereka lebih aman dibandingkan para pemikir yang mereka rujuk -Althuser, lalu Gramsci, lalu Marx, dan tanpa kecuali Lenin. Tentu saja faktor ketertarikan pada tafsiran segar atas gagasan-gagasan mapan juga berperan.
Salah satu benang merah utama pemikiran orang-orang tadi adalah kritik keras terhadap demokrasi liberal. Mereka membuktikan demokrasi liberal sebagai bentuk lain kediktatoran. Tepatnya, kediktatoran kapitalis.
Ya. Demokrasi liberal, sekalipun seluruh prosedurnya dipenuhi dan dijalankan dengan jujur, tetap saja menjadi alat legitimasi kapitalisme.
Demokrasi hanya akan menjadi sungguh-sungguh demokrasi jika terjadi pula dalam ranah relasi produksi sebagai bangun dasarnya. Itu berarti pembebasan alat-alat produksi dari penguasaan segelintir orang.
Yang menyedihkan, sejumlah orang yang mempelajari Zizek, membaca Badiou, atau bahkan akrab dengan karya-karya Laclau-Mouffe ternyata cukup asing dengan pikiran-pikiran Sukarno.
Padahal, Sukarno sudah mendahului para filsuf beken itu, puluhan tahun lebih dini mengkritik demokrasi liberal.
Salah satu buah pikiran Sukarno yang bisa jadi rujukan pandangannya tentang demokrasi adalah buku Mentjapai Indonesia Merdeka. Buku ini terbit pada 1933, sebebasnya Bung Karno dari penjara Sukamiskin dan sebelum dibuang ke Ende.