Saya pernah punya kasus dengan layanan internet rumah yang disediakan sebuah perusahaan (ter)besar di bidang itu. Dua bulan berturut-turut saya minta penurunan kapasitas agar bisa lebih menghemat. Petugas menjawab paket lebih murah yang tertera dalam brosur tidak ada di kota kami.
Tetapi karena mendengar teman saya berlangganan paket itu, di kali ketiga saya katakan kepada customer service, "Mbak, saya videokan ya percakapan kita. Saya akan gunakan video ini untuk kepentingan lebih lanjut, siapa tahu saya harus komplain ke atasan Mbak."
Eh, kali ini tidak sampai 5 menit, paket langganan saya sudah beralih ke versi lebih murah yang dalam permintaan dua bulan sebelumya dijawab tidak tersedia itu.
Nah, karena bertele-tele dan rumitnya penanganan, konsumen merasa diri selalu dicurangi jika berhadapan dengan korporasi. Kiranya seperti Daud melawan Goliat. Namun karena kemenangan Daud mengalahkan Goliat pakai batu itu untung-untungan, belum tentu terulang pada kita, cara yang paling mungkin ya keroyokan.
Maka konsumen mencari dukungan di ruang publik.
Masa kini, ruang publik paling efektif adalah media sosial. Dilemparkanlah keluhan ketidakberesan, seperti soal tarif tidak sesuai pemakaian yang sedang ramai ini.
FYI, sejumlah kenalan yang memang punya kebiasaan cukup ketat dalam mencatat pemakaian listrik, memang mengalami tagihan listrik lebih besar dibandingkan pemakaian versi hitungan mereka.
Ketika keluhan ini dilempar ke ruang publik tak bertepi, seperti media sosial, keluhan yang objektif ini bercampur dengan keluhan karena kurang paham (seperti karena kaget akibat pembebanan pemakaian berlebih bulan-bulan sebelumnya ke bulan berjalan).
Yang kedua, di sisi lain, partisipan ruang publik medsos berlatar motif rupa-rupa. Berbaur dengan individu-individu warganet, banyak pula akun-akun yang diorganisasikan oleh 'perusahaan-perusahaan kontraktor opini'.
Para kontraktor ini berdagang jasa pembentukan opini publik di media sosial.
Keberadaan kontraktor-kontraktor opini publik sudah lama di Indonesia. Menjadi kian marak setelah pengalaman 2010, the Arab Spring Revolts yang berdampak penggulingan kekuasaan di Tunisia, Egypt, Libya, and Syria serta perubahan struktur kekuasaan di sejumlah negara lain di Timur Tengah.[2]