"Kita haroes merajakan Lebaran sekarang ini di dalam semangat tahan-menderita itoelah! Satu boelan kita berpuasa! MELATIH DIRI TAHAN-MENDERITA! Marilah kita hadapi .. tahoen jang baroe ini sebagai satoe bangsa, jang benar-benar berlatih tahan-menderita di dalam boelan Ramadhan. -- Sukarno, 1943 M / 1362 H
Kata-kata Sukarno di atas baru saya tahu dari pajangan facebook Rudi Hartono, Pemred Berdikari Online yang Sukarnois itu. Rupanya sudah lama dan sudah banyak pula yang pernah mengulas soal ini, seperti Suhadi Cholil di alif.id pada Juni 2018 atau pula Zaenal A (editor) di antaranews.com di Agustus 2012.
Saya tercenung membaca penggalan yang lebih panjang. Coba Anda baca pada gambar berikut.
Baca agar tidak penasaran: "Rupanya Ini Sebab Hilal Hilang"
Bung Karno menyampaikan seruan lebaran itu dalam Madjalah Islam terbitan 01 Oktober 1943.
Itu saat perang Pasifik, kepingan Perang Dunia II, dan Indonesia baru saja kedatangan penjajah baru tetapi lebih kejam sebab berideologi politik kanan jauh, Jepang yang fasis.
Sudah tentu itu masa susah. Seperti kata Bung Karno sendiri, "... tiada suatu bangsa yang tidak menderita di masa perang." Sudah begitu, Indonesia menghadapi masa perang itu sebagai bangsa terjajah. Sudah jatuh, tertimpa tangga, atap, tiang, dan segala perkakas bertukang pula.
Bisa dibayangkan, saat itu rakyat "calon" Indonesia kelaparan, hidup serba berkekurangan dan ketakutan. Apalagi mereka yang termasuk dalam 4-10 juta romusha, harus dikirim ke tempat-tempat yang jauh, bahkan ke negeri-negeri lain di Asia Tenggara[1]. Banyak yang mati karena kelaparan, kelelahan, atau meragang nyawa di ujung sangkur dan sepatu lars tentara Nipon.
Jadi bukan cuma tak boleh mudik, orang-orang zaman itu menghabiskan lebaran di banyak camp kerja paksa.
Tampak bahwa Sukarno tidak memanis-maniskan keadaan. Tak ada upayanya memberi penghiburan. Ia berkata apa adanya. Susah ya susah.
Bung Karno juga tidak sedang mengajukan excuse atas keadaan susah itu. Ia bukan minta rakyat "calon" Indonesia berdamai dengan situasi perang -- yang aslinya mungkin eufemisme penyampaian maaf atas belum berhasilnya Bung Karno dan para pemimpin pergerakan memerdekaan bangsa ini. Ehem.
Jangan mudah sensi, lho. Pejabat yang ikut-ikutan Presiden Jokowi serukan damai dengan corona banyak. Yang latah-latah ini bisa jadi tidak sungguh paham maksud Presiden.
Bung Karno justru minta rakyat untuk kuat melangkahkan kaki dalam lorong gelap sembari meyakinkan akan adanya cercah cahaya di ujung nanti.
Kondisi di masa itu mungkin boleh disama-samakan dengan lebaran saat ini. Tetapi mengapa ya, seruan Bung Karno terasa menggetarkan, bahkan bagi saya yang bukan penganut Islam dan membacanya berpuluh-puluh tahun kemudian.
Mengapa terasa berbeda dengan ucapan lebaran pejabat-pejabat masa kini?
Kalau dibanding-bandingkan, rasanya seperti antara mendengar lagu Slank dengan lagu Nia Daniaty. Sekalipun sedang sama-sama membawakan lagu bertema sendu, mendengar yang pertama bikin harapan muncrat, sementara yang kedua bikin hati mengkeret loyo.
Apakah karena di masa-masa sekitar Revolusi Agustus 1945 itu rakyat Indonesia mengalami yang namanya "susah sama menangis, gembira sama tertawa"? Sebaliknya di masa kini, yang mayoritas harap-harap cemas dapat bansos Rp 600 ribu, yang segelintir nikmati persen 1 juta biaya jasa platform kursus digital.
Apakah karena kaum tak terbilang sedang bertanya-tanya, akankan bulan depan ada kerjaan, sementara yang terhitung jari sedang berpikir keras, mau investasikan ke mana lagi segunung duit parkir ini sore nanti?
Entahlah. Mungkin salah jika saya menduga-duga. Tetapi yang jelas, memang kata-kata Bung Karno terasa beda, kok.
Ya sudahlah. Selamat Idul Fitri ya. Saya saja yang salah, saya minta maaf.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H