Bung Karno juga tidak sedang mengajukan excuse atas keadaan susah itu. Ia bukan minta rakyat "calon" Indonesia berdamai dengan situasi perang -- yang aslinya mungkin eufemisme penyampaian maaf atas belum berhasilnya Bung Karno dan para pemimpin pergerakan memerdekaan bangsa ini. Ehem.
Jangan mudah sensi, lho. Pejabat yang ikut-ikutan Presiden Jokowi serukan damai dengan corona banyak. Yang latah-latah ini bisa jadi tidak sungguh paham maksud Presiden.
Bung Karno justru minta rakyat untuk kuat melangkahkan kaki dalam lorong gelap sembari meyakinkan akan adanya cercah cahaya di ujung nanti.
Kondisi di masa itu mungkin boleh disama-samakan dengan lebaran saat ini. Tetapi mengapa ya, seruan Bung Karno terasa menggetarkan, bahkan bagi saya yang bukan penganut Islam dan membacanya berpuluh-puluh tahun kemudian.
Mengapa terasa berbeda dengan ucapan lebaran pejabat-pejabat masa kini?
Kalau dibanding-bandingkan, rasanya seperti antara mendengar lagu Slank dengan lagu Nia Daniaty. Sekalipun sedang sama-sama membawakan lagu bertema sendu, mendengar yang pertama bikin harapan muncrat, sementara yang kedua bikin hati mengkeret loyo.
Apakah karena di masa-masa sekitar Revolusi Agustus 1945 itu rakyat Indonesia mengalami yang namanya "susah sama menangis, gembira sama tertawa"? Sebaliknya di masa kini, yang mayoritas harap-harap cemas dapat bansos Rp 600 ribu, yang segelintir nikmati persen 1 juta biaya jasa platform kursus digital.
Apakah karena kaum tak terbilang sedang bertanya-tanya, akankan bulan depan ada kerjaan, sementara yang terhitung jari sedang berpikir keras, mau investasikan ke mana lagi segunung duit parkir ini sore nanti?
Entahlah. Mungkin salah jika saya menduga-duga. Tetapi yang jelas, memang kata-kata Bung Karno terasa beda, kok.
Ya sudahlah. Selamat Idul Fitri ya. Saya saja yang salah, saya minta maaf.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H