Gaia sungguh dibuat pusing karena itu. Malam kemarin Hilal tak menghampiri biliknya. Entah kemana cucu perempuan itu. Yang Gaia tahu, sudah kebiasaann Selena ikut sakit saat Helios sakit. Tetapi sesakit-sakitnya, dulu-dulu Selena selalu sempatkan menyapa Gaia saat malam tiba.
Hhhhhh ... padahal Gaia harus sudah menyudahi siklus mati raga. Ia sudah bersumpah sakti -- tak boleh dilanggar -- mati raga sebulannya akan berakhir saat Selena datang ke biliknya sebagai Hilal. Di tahun-tahun yang berlalu, Hilal akan muncul dari arah kepergian Helios, melempar senyum bibir menyabit berpendar putih itu.
Tanpa kemunculan Hilal, Gaia harus memperpanjang hari bermati raga.
Sial! Seperti sudah dicemaskan, esok hari, Eos juga tidak muncul. Karena Eos tidak muncul, ayam-ayom jago tidak berkokok, tak tak ada tanda dimulainya jam bermati raga.
Kokok ayam jago pada hakiktnya adalah cat calling terhadap Eos. Ayam-ayam jaga yang machois itu akan bersahut-sahutan melakukan cat calling. Mereka pikir, dengan itu mereka sedang memuja kecantikan Eos.
Jadilah Gaia terperangkap dalam ketidakpastian. Ingin menyudahi mati raga sebulan, Hilal tak muncul. Ingin melanjutkan bermati raga, Eos tidak datang.
Demi menyudahi mati raga yang sudah berhari-hari ini, Gaia beringsut ke kamar Selena.
Tiga kali ia mengetuk, Selena tak juga membukakan pintu.
Akhirnya Gaia membukanya. Syukurlah tidak dikunci.
Astagaaaa! Selena - kini dalam wujud Hilal - terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat pasi. Ia mencoba tersenyum kepada Gaia. Khas, bibirnya membentuk sabit. Tetapi kini tak ada pendar putih memancar di sana.
"Jangan kaget, Nek. Pendar putih bibir sabitku berasal dari pantulan cerah ceria wajah Helios. Jika ia sakit begitu, lenyap pula pendar dar wajahku. Aku tak punya tenaga untuk menjenguk ke kamarmu, Nek."