Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aksi Telanjang Ibu-Ibu di Hadapan Gubernur, Ada Apa?

13 Mei 2020   16:22 Diperbarui: 6 Juni 2020   22:47 6400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: tangerangonline.id

Gubernur NTT Victor Laiskodat mungkin tidak pernah menduga bahwa Selasa, 15 Mei 2020 ia akan menghadapi aksi protes ibu-ibu yang bertelanjang dada. Victor sempat tampak marah menghadapi aksi itu. Tetapi ibu-ibu masyarakat adat Pubabu mungkin lebih marah lagi.

Menurut pemberitaan Pos Kupang (15/05/2020), Victor Laiskodat tidak punya agenda mendatangi  resort peternakan Besipae  yang berdiri di lahan sengketa antara Pemprov NTT dengan Masyarakat Adat Pubabu di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Victor dan rombongan sedang dalam perjalanan pulang dari kunjungannya ke Bena ketika ia melihat kerumunan orang saat melintasi kawasan Besipae.(1)

Victor memerintahkan rombongan untuk singgah. Begitu ia turun dari mobil, rakyat menyambutnya dengan protes histeris. Kaum ibu membuka baju dan bra sambil berorasi menetang klaim lahan mereka oleh pemerintah Provinsi NTT.

Aksi telanjang dada para ibu masyarakat adat Pubabu bukan baru pertama kali. Pada 17 Februari 2020, mereka juga melancarkan aksi barikade tubuh telanjang dada saat menyandera dua mobil milik Pemprov NTT sebagai bentuk protes terhadap penyampaian Gubernur NTT agar mereka meninggalkan lokasi.

Aksi tersebut bikin repot aparat polisi, mereka gagal merebut kembali mobil dan baru keesokan hari masyarakat melepaskannya.

Aksi pengorbanan kehormatan diri seperti ini mencerminan rasa putus asa rakyat menghadapi kekuasaan yang mereka nilai arogan dan semena-mena mengangkangi hak mereka. Sengketa lahan antara Pemerintah Provinsi NTT dan Masyarakat Adat Pubabi memang sudah kronis, terjadi puluhan tahun lamanya dan hingga kini belum menemukan jalan keluar yang adil bagi rakyat.

Bagaimana Mulanya?

Masalah ini berakar panjang, bermula pada masa Orde Baru, 1982. Saat itu Pemerintah Provinsi bekerjasama dengan Pemerintah Australia hendak membuka proyek percontohan intensifikasi peternakan selama 5 tahun.

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Australia menghendaki proyek tersebut menggunakan hutan adat Pubabu.

Hutan adat Pubabu merupakat wilayah adat masyarakat yang bernaung di bawah pemerintahan  adat Kerajaan Polo dengan rajanya Pae Nabuasa, yang dibantu empat tetua adat (amaf), yaitu Tefu, Manao, Biaf, dan Kabnani.

Penetapan Pubabu sebagai Hutan Adat dilakukan pada 1927, sebagai kesepakatan antara Raja Nabuasa, Pemerintah Kolonial Belanda dan para amaf (tetua adat). Saat itu luas lahan yang disepakatti sebagai hutan adat adalah 2.674,4 hektar.[2]

Hutan adat Pubabu berfungsi hutan larangan, dalam bahasa Dawan disebut 'Kio', untuk melindungi air, satwa liar, tanaman obat-obatan, lilin madu, pohon, dan tali-tali hutan.

Tokoh adat Pubabu, Niko Manao bercerita, proyek pemerintah Australia membutuhkan 6.000 ha lahan. Sementara luas hutan adat Pubabi hanya sekitar 2.6 ha. Untuk mencukupi jumlah lahan, Pemerintah melibatkan pula Raja Besi Nabuasa dari Oeekam yang memiliki empat amaf, yaitu Tefu, Manao, Biaf, dan Kabnani.

Atas kesepakatan kedua raja (Besi dan Pae) berserta amaf masing-masing, dibuatlah perjanjian kontrak lahan yang melibatkan tanah pertanian rakyat empat desa:  Polo, Linamnutu, Mio, dan Oeekam untuk selama 5 tahun dimafaatkan bagi proyek pkerjasama Pemprov NTT dan pemerintah Australia itu.(3)

Tokoh adat lainnya, Beny Selan menceritakan, setelah kontrak berakhir pada 1987, Pemprov tidak mengembalikan lahan masyarakat adat Pubabu. Pemprov, melalui Dinas Perternakan, secara sepihak memperpanjang kontrak penguasaan atas kawasan itu hingga 2012.  Tetapi program ini kemudian terbengkelai lama.(4)

Pada 2003, 2006, dan 2008, Pemkab TTS melanjutkan aksi sepihak Pemprov NTT dengan memobilisasi Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), membabat habis pohon-pohon asli di Hutan Adat Pubabu. Dampaknya masyarakat adat Pubabu mengalami kesusahan karena kerusakan hutan menyebabkan lahan-lahan warga kekeringan.

"Bahkan sumur bor dengan kedalaman 60 meter pun kering total hingga kini. Sawah seluas 50 hektar di Dusun Besipae dan Dusun Anifu mengalami kekeringan. Pohon-pohon seperti kayu merah, asam dan lain-lain yang berumur ratusan tahun ditebang dan dibakar," kata Beny Selan.(5)

Mendekati masa akhir kontrak sepihak (2012), pada 2010 sebagian warga masyarakat adat Pubabu membuka lahan di wilayah Desa Linamnutu, di 'kawasan semak', yaitu wilayah kelola rakyat di luar hutan larangan. Tetapi pihak pemerintah berupaya mengusir rakyat, mengklaim kawasan itu termasuk wilayah penguasaan pemerintah.

Menyikapi itu, sejumlah tokoh adat Pubabu berjuang menuntut pengembalian lahan mereka.

Pada tahun 2010 Pemerintah provinsi ingin melakukan perpanjangan kontrak. Masyarakat menolaknya dengan berkirim surat kepada Gubernur NTT, DPRD NTT, BPN NTT, Polda NTT, Bupati TTS, DPR TTS, Komnas HAM, Kementrian Hukum dan HAM, Walhi Nasional, Walhi NTT, dan Om Budsman Nasional.

Masyarakat Adat Pubabu juga melakukan sejumlah unjukrasa ke Bupati dan DPRD TTS, serta ke Gubernur dan DPRD NTT untuk menuntut pengembalian hak mereka atas hutan adat dan lahan ulayat. Tetapi perjuangan mereka saat itu sia-sia.

Bahkan gara-gara perjuangan itu, Beny dan 10 orang lainnya dipenjara selama dua bulan.

Tetapi rupanya penjara tidak memadamkan keberanian rakyat Pubabu untuk memperjuangkan hak mereka, melawan kebijakan yang batil.

Atas dukungan komunitas masyarakat adat, Beny Selan, Niko Manao, Paul Selan, Daud Selan, Marten Tanono, Rison Taopan, dan Levinus Neolaka, berangkat ke Jakarta dengan modal seadanya. Mereka bertekad menyampaikan persoalan mereka ke pemerintah pusat dan organisasi-organisasi yang hendak membantu.

Hasil dari perjuangan itu adalah pada 2013, Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi agar Dinas Kehutanan dan Dinas Peternakan menghentikan operasi dan keluar dari hutan adat.

Setelah Dinas Kehutanan dan Dinas Pertenakan meninggalkan kompleks bekas ranch itu, masyarakat bermukim sementara di bangunan bekas mes pekerja ranch sambil membudidayakan pertanian di sebagian kecil wilayah sengketa.

Tetapi rupanya masyarakat adat Pubabu hanya bisa menikmati kemenangan sesaat. Tiga tahun setelah Dinas Peternakan keluar, pada 2016 Pemprov NTT--di masa pemerintahan kedua Gubernur Frans Leburaya--mencoba menguasai kembali kawasan tersebut.

Pada akhir 2016 Wakil Gubernur Benny Litelnony yang juga mantan Bupati TTS mencoba bernegosiasi dengan rakyat. Ia mengadakan tiga kali pertemuan bersama masyarakat adat Pubabu, yaitu pada Oktober 2016, Desember 2016, dan terakhir pada tanggal 25 januari 2017. Pertemuan tersebut mengerucut pada jalan tengah yaitu  akan dibentuk tim tim mediasi untuk mendiskusikan lokasi pembangunan proyek Dinas Peternakan Provinsi di luar lokasi hutan adat Pubabu.

Tetapi entah mendapat bisikan dari mana, sebelum janji pembentukan tim mediasi terwujud, pada  17 Oktober 2017 masyarakat adat Pubabu yang menguasai lokasi bekas ranch Besipae didatangi rombongan Polisi Pamong Praja, aparat Polda NT, dan  pegawai UPT Peternakan yang menyerahkan surat perintah pengosongan lahan. Surat itu ditandatangani Sekda NTT Bene Polo Maing. Rakyat dipaksa menandatangani kesepakatan mengosongkan lahan.

Yang lucu, rombongan membawa pula salinan Sertifikat Hak Pakai Nomor: 00001/2013-BP,794953 yang terbit tanggal 19 maret 2013, menyatakan penguasaan Pemprov NTT atas lahan seluas 37.800.000 Meter persegi. Entah bagaimana ceritanya, Pemprov  tiba-tiba mengantongi sertifikat hak pakai yang tiba-tiba terbit pada 2013.

Masyarakat adat Pubabu terpaksa harus kembali berjuang, mendatangi DPRD Kabupaten dan Provinsi sambil tetap mempertahankan penguasaan mereka.

Pada 2018, kuasaan Gubernur Frans Leburaya dan Wakil Gubernur Benny Litelnony berakhir tanpa mampu merampas kawasan adat Pubabu dari rakyat.

Tetapi rakyat Pubabu tidak bisa bernapas lega sebab niat Gubernur Leburaya dilanjutkan pemerintahan baru, Victor Laiskodat dan Josef Nae Soi.

Memang, di tangan Laiskodat dan Nae Soi ada titik kompromi. Pemerintah menjanjikan tiap kepala keluarga masyarakat adat Pubabu akan mendapatkan lahan kapling bersertifikat seluas 800 meter persegi dan dipekerjakan di pengembangan sapi Besipae.

Tetapi dialog tentang solusi itu belum jelas, masyarakat belum dimintai pendapatnya, dan mereka sudah diminta meninggalkan lokasi. Gara-gara itulah, masyarakat melakukan aksi protes dengan cara yang tidak biasa: kaum ibu melakukan aksi berlelanjang dada.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun