Sudah banyak sekali kalangan yang protes keras pelaksanaan program Kartu Prakerja, bahkan menudingnya subsidi perusahaan rintisan marketplace kursus digital. Tetapi tampaknya pemerintah memilih menutup mata dan telinga. Program ini tetap berjalan dengan segala kekurangannya. Anjing menggonggong, tikus-tikus eh kafilah berlalu.
"Ini program bagus, program baru, janji Presiden Jokowi untuk menyiapkan tenaga kerja Indonesia agar skill-nya meningkat. Namun karena outbreak, maka di-divide, ada bantalan sosial yang diberikan cash, namun kita enggak boleh give up dengan sistem pelatihannya," ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dengan gaya bahasa anak Jaksel.[1]
Hmmm, harusnya ada pula program pelatihan daring khusus untuk para menteri. Materinya Panduan-berbahasa-Indonesia-yang-patut-diteladani. Ah, jangan dianggap serius. Bu Sri sengaja berbicara begitu agar terkesan kekinian, bukan karena beliau tidak pandai berbahasa Indonesia.
Terlepas dari alay a la Jaksel beliau, saya setuju pendapat Bu Sri Mulyani bahwa Kartu Prakerja adalah program bagus.
Sayang, pelaksanaannya saat ini memiliki sekurang-kurangnya lima unsur tidak tepat: tidak tepat kondisi, tidak tepat konten, tidak tepat harga, tidak tepat metode, dan tidak tepat skema.
Kita bahas satu per satu.
Pertama, program Kartu Prakerja itu bagus.
Program Kartu Prakerja disusun dengan dasar asumsi dunia pendidikan kita tidak mampu menghasilkan lulusan yang siap kerja. Karena itu diperlukan pendidikan tambahan berupa aneka kursus spesifik yang mengajarkan pengetahuan dan kemampuan praktik di dunia kerja.
Sangat baik bahwa untuk meningkatkan kapasitas para pencari kerja, pemerintah bersedia menanggung biayanya.
Lebih baik lagi, bantuan pendanaan pemerintah diperuntukan pula bagi peningkatan kapasitas buruh yang sudah bekerja, entah menjadi lebih ahli di bidangnya atau menambah pengetahuan baru.
Dalam program Kartu Prakerja saat ini, pemerintah menanggung biaya peningkatan kapasitas buruh yang kena PHK. Semoga dengan pelatihan-pelatihan semasa ter-PHK, ia bisa segera kembali terserap ke dunia kerja.
Dalam artikel-artikel yang lalu, saya sudah cerita bahwa program Kartu Prakerja ini sudah lazim di negara-negara maju, dikenal sebagai unemployment benefit.
Bedanya, unemployment benefit di negara maju diurus dengan benar, tidak ugal-ugalan seperti praktik di negeri kita saat ini (akan kita jelaskan nanti).
Unemployment benefit adalah pengembangan bentuk jaring pengaman sosial yang dipadukan dengan peningkatan kapasitas tenaga kerja. Selain membantu korban ter-PHK (jaring pengaman sosial), negara juga membantu perusahaan-perusahaan, mengambil alih beban biaya pelatihan karyawan mereka menjadi tanggungjawab pemerintah.
Karena mengharuskan penerima bantuan jaring pengaman sosial mengikuti kursus pengembangan kapasitas, kartu Prakerja atau unemployment benefit tergolong bansos yang konditional, berbeda dengan UBI yang sebentar lagi akan jadi tren dunia pascapemberlakuan di Spanyol.
Baca artikel beberapa hari lalu, “Bikin Cemburu, Spanyol Terapkan UBI, Akankah Indonesia Juga?“
Idealnya, dengan program Kartu Prakerja, para pengganguran, baik yang sama sekali belum mendapat pekerjaan maupun yang di-PHK.
Selain mendapat bantuan dana bagi pemenuhan kebutuhan hidup, juga mendapatkan pengembangan kapasitas berupa keahlian yang dibutuhkan dunia usaha atau keahlian kewirausahaan untuk merintis usaha sendiri.
Sayangnya seperti sudah disinggung, Kartu Prakerja saat ini punya banyak kekurangan.
#1. Pelaksanaan Program Kartu Prakerja tidak tepat kondisi.
Dengan banyaknya buruh kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19, prioritas anggaran jaring pengaman sosial seharusnya pada uang jatah hidup (jadup).
Artinya, dibandingkan mengalokasikan dana untuk membiayai kursus, lebih baik sebesar-besarnya anggaran diperuntukkan pemaksimalan coverage bansos, baik dalam jumlah penerima pun besaran dana per kapita.
#2. Pelaksanaan Program Kartu Prakerja tidak tepat metode.
Gara-gara dipaksakan berjalan di tengah pandemi, program Kartu Prakerja diramalkan tidak akan berbuah output yang diharapkan. Demi mematuhi social distancing, kursus-kursus digelar online. Padahal banyak keterampilan yang dibutuhkan buruh harus diajarkan dengan bimbingan secara tatap muka.
Misalnya saya ingin mempelajari kemampuan baru bertukang kayu atau tukang batu. Keahlian seperti ini tentu butuh peralatan yang tidak bisa saya sediakan sendiri, dan harus learn by doing di bawah bimbingan mentor profesional. Jadi tidak bisa hanya dengan memelototi layar komputer atau henpon.
#3. Pelaksanaan Program Kartu Prakerja tidak tepat konten.
Perlu diakui, banyak materi kursus yang ditawarkan platform-platform mitra program Kartu Prakerja berguna bagi pengembangan kapasitas buruh dan calon pekerja mandiri. terima kasih kepada para profesional yang telah menyusun dan para pengusaha makelar jasa yang sudah mewadahi dalam platform mereka.
Tetapi ada pula paket yang tidak berkualitas bahkan susah membayangkan hubungannya dengan pengembangan kapasitas. Paket-paket aneh tersebut tidak seharusnya didagangkan kepada peserta program Kartu Prakerja yang duitnya berasal dari APBN.
Contoh yang banyak menuai kritik publik adalah kursus memancing. [2] Seharusnya hal seperti ini tidak dimasukkan ke dalam paket yang dibayar pakai dana APBN.
Ketika seseorang ingin belajar memancing, cukuplah ia bertanya kepada kakeknya atau minta diajak teman yang punya hobbi memancing. Soal pengetahuan seperti macam-macam alat pancing, bisa diperoleh dari banyak konten gratis di internet.
#4. Pelaksanaan Program Kartu Prakerja tidak tepat harga.
Banyak pula paket-paket belajar yang disediakan mitra program Kartu Prakerja dikenakan harga yang tidak pantas, terlalu mahal.
Misalnya ada program pelatihan “Microsoft Office untuk Pemula: Outlook, Word dan Excel” di Pijar Mahir. Yang diajarkan adalah “Pembuatan dan penyuntingan dokumen Word.”
Padahal ilmu ini bisa ditanyakan gratis kepada murid kelas 6 sekolah dasar. Mereka akan jelaskan dengan sukacita. Tetapi di Pijar Mahir hal ini dijual Rp 260.000.[3]
Contoh lainnya adalah kursus “Youtube Content Creator” yang ditawarkan pelatihan.kemnaker.go.id. Materi-materi yang diajarkan adalah “Pengantar YouTube Content Creator, membangun Channel dan Membuat Content, mendapat Penghasilan Sebagai YouTube Content Creator.” Hal begini betebaran gratis di internet tetapi pada platform plat merah ini dijual seharga Rp 300.000.[4]
Kursus "Kreasi Konten Digital" yang di platform Kemnaker dihargai Rp 999.000,[5] di Inggris disediakan gratis bagi penerima unemployment benefit di negara tersebut.[6]
Kenyataan ini tidak terhindarkan membangkitkan kesan bahwa program Kartu Prakerja ibarat tindakan menjarah rumah yang sedang terbakar. Dengan alasan pandemi, perusahaan makelar jasa kursus online yang kelak dibangga-banggakan dalam pidato pejabat sebagai perusahaan rintisan sukses meraih untung besar dari APBN.
#5. Pelaksanaan Program Kartu Prakerja tidak tepat skema.
Pelaksanaan Kartu Prakerja punya skema yang dikhawatirkan kontraproduktif. Sejumlah pihak menduga, banyak penerima yang asal memilih program pelatihan, sekadar sebagai syarat untuk mendapatkan bansos Rp 600.000 per bulan.
Dugaan ini kemudian terbukti oleh kesaksian para penerima. Misalnya pengakuan Ahmad Syahtriono dan Ilham yang diberitakan CNNIndonesia.com dalam artikel “Curhat Kecele Peserta Pelatihan Kartu Prakerja ala Jokowi”.[7]
Kondisi ini diperburuk oleh penunjukkan mitra pengelola platform yang tidak melalui seleksi ketat. Jadinya banyak paket kursus yang tidak sesuai kebutuhan dan kontennya tidak sepantas harga jual.
"Menurut saya tidak jauh berbeda dengan video tutorial yang biasa saya tonton di Youtube atau artikel trik-trik fotografi di Google,” kata Ahmad Syahtriono
"Materinya terlalu dasar seperti pelayanan pelanggan, bahasa Inggris, cara mengelola stres di tempat kerja, dan sebagainya,” komentar Ilham.
Tetapi Ahmad dan Ilham tetap menyelesaikan kursus itu demi mendapat sertifikat lulus yang jadi syarat bansos Rp 600.000.
Bandingkan dengan skema di negara lain
Umumnya negara-negara di dunia punya dua hingga jenis unemployment benefit. Indonesia pun demikian ke depannya.
Yang pertama adalah unemployment benefit sebagai asuransi sosial yang sumber dananya berasal dari iuran buruh.
Untuk Indonesia, unemployment benefit yang seperti ini adalah program Jaminan PKH yang diatur dalam RUU Cipta Kerja sah.
Di Prancis namanya Allocation d'aide au retour a l'emploi (ARE) yang boleh diterjemahkan sebagai 'tunjangan bantuan kembali bekerja.' Di Jerman namanya Arbeitslosengeld I, untuk membedakannya dengan bentuk yang kedua.
Sementara bentuk yang kedua adalah yang anggarannya berasal dari pemerintah. Program ini diperuntukkan angkatan kerja baru atau buruh korban PHK yang masa kerjanya belum memenuhi syarat untuk bisa ditariki iuran.
Inilah program Kartu Prakerja. Kalau di Prancis namanya tunjangan solidaritas khusus (ASS). Sementara di Jerman disebut Arbeitslosengeld II atau Sozialgeld.
Setiap unemployment benefit memiliki tujuan ganda. Yang pertama sebagai jaring pengaman sosial bagi pengangguran, dan yang kedua sebagai bantuan pengembangan kapasitas kepada buruh untuk bisa kembali bekerja.
Karena itu di mana-mana bantuan sosial yang diberikan selalu bersifat konditional, yaitu mensyaratkan penerima terlibat di dalam bimbingan pengembangan karir dan pelatihan kerja.
Nah, yang membedakan Kartu Prakerja di Indonesia dengan unemployment benefit di negara lain adalah pada skema penyelenggaraan training-nya.
Di negara lain, pemberian pelatihan umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang didirikan pemerintah. Atau jika dilakukan lembaga swasta, penerima bantuan mendapat bimbingan mentor-mentor di pusat pengembangan karir untuk memilih pendidikan vokasi atau kursus profesional yang cocok dan berkualitas.
Di Indonesia, penerima program Kartu Prakerja dibiarkan memilih sendiri dan suka-suka dari belantara tawaran jasa kursus online, yang sebagian di antaranya sungguh absurd.
Di Selandia Baru, pemerintahan Partai Buruh yang dipimpin PM Jasinda Ardem meningkatkan kapasitas buruh dengan terlebih dahulu melakukan reformasi pendidikan tersier mereka.
Beberapa poin kebijakan reformasi itu adalah mendirikan Institut Keahlian dan Teknologi Selandia baru yang merupakan jaringan pendidikan vokasional yang melibatkan 16 institut teknologi dan politeknik; mendirikan Workforce Development Councils (WDCs) yang berfungsi menyelaraskan kebutuhan industri dan pendidikan vokasi.
Kemudian mendirikan Grup Kepemimpinan Keahlian Regional yang memberikan nasihat kepada komisi pendidikan tersier dan lembaga pendidikan vokasi tentang kebutuhan keahlian yang dibutuhkan industri sesuai karakteristik regional; dan menyatukan sistem pendanaan pendidikan vokasi.[8]
Jadi pelaksanaan pendidikan vokasi, termasuk kursus singkat profesional secara daring, dilakukan dengan sungguh terencana dan terpimpin, tidak ugal-ugalan dilepaskan kepada penawaran dan permintaan di pasar sehingga tidak ada materi pelatihan memancing yang ujug-ujug masuk paket yang dibayai APBN.
Selain kepada pencari kerja dan korban PHK, pemerintah mendorong pelaku usaha melibatkan para buruh mereka dalam program pelatihan on job training.
Buruh (tidak harus ter-PHK) dapat mengakses gratis setahun pendidikan tersier. Menurut rencana, di kemudian hari pendidikan tersier gratis bagi para buruh dan pencari kerja akan diperluas menjadi 3 tahun.
Di Washington State, Amerika Serikat, lembaga penyelenggara dan paket pelatihan bagi penerima asuransi pengangguran harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Workforce Training & Education Coordinating Board.[9]
Demikian pula di negara bagian California. Penerima California Training Benefits (CBT), fasilitas tambahan dalam unemployment benefit, mendapatkan trainning dari lembaga-lembaga yang tercantum dalam The Eligible Training Provider List (ETPL) yaitu yang lolos kriteria WIOA.[10]
Di Irlandia, pelatihan terhadap penerima unemployment benefit diberikan cuma-cuma oleh Skillnet Ireland, lembaga yang didirikan pemerintah Irlandia untuk mendukung industri. [11]
Ringkasnya, membaca program-program unemployment benefit di berbagai belahan dunia, saya belum ketemu yang seperti di Indonesia, yang materi pelatihannya diliberalkan begitu saja sehingga materi-materi gratisan bisa dijual dengan harga mahal.
Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Tidak ada pilihan lain! Satu-satunya jalan yang masuk akal adalah penghentian sementara program Kartu Prakerja. Sebesar-besarnya anggaran untuk saat ini dialokasikan dulu untuk bansos jadup.
Lalu, skema program Kartu Prakerja diperbaiki. Pertama, pemerintah perlu melibatkan kalangan pelaku usaha untuk memetakan kebutuhan keahlian dan kapasitas di pasar tenaga kerja.
Berdasarkan itu, lembaga-lembaga perguruan tinggi dan pendidikan vokasi dilibatkan untuk penyusunan kurikulum dan bahan ajar.
Jadi lebih murah mengupah konsultan penyusun bahan ajar dibandingkan pakai sistem membayar paket kursus yang tersedia saat ini di pasar. Lalu lembaga-lambaga makelar jasa pelatihan daring dan luring dilibatkan sebagai penyedia platform atau fasilitas.
Kira-kira demikian.***
Jangan lupa baca: "Prediksi Keruntuhan Juche Jika Kim Jong Un Meninggal [Bagian 2]"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H