"Lalu ada yang bilang tidak ada sinyal TV bahkan ada yang bilang tidak punya listrik. Itu bikin saya kaget luar biasa, saya pun belajar sebagai menteri bahwa Indonesia ini masih banyak area-area yang sebenarnya tidak terbayang bagi kita di Jakarta, benar-benar tidak terbayang ada yang masih tidak punya akses listrik, bayangkan listriknya cuma nyala beberapa jam sehari." -- Nadiem Makarim, 2 Mei 2020.[1]
Ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim sampai kaget luar biasa begitu, sebagai rakyat yang juga orang tua murid, saya lebih terkaget-kaget lagi. Harusnya saya pingsan membaca berita itu.
Bagaimana bisa menteri tidak paham kondisi negerinya?
Tentu Menteri Nadiem bukan satu-satunya yang demikian. Yang lain mungkin lihai menyembunyikan kekagetan mereka saat mengetahui informasi-informasi minus ketimpangan pembangunan.
Sebenarnya kondisi kelistrikan Indonesia tidak buruk-buruk amat.
Menurut dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2019-2038 milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik nasional meningkat rata-rata 4,9% per tahun sepanjang 2014-2018. Demikian pula panjang jaringan transmisi, bertambah rata-rata 8,5% per tahun. Sementara panjang jaringan distribusi naik  3,51% dalam 5 tahun (2013-2018).
Peningkatan dalam infrastruktur kelistrikan tercermin pula dalam peningkatan rasio elektrifikasi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir 2013, rasio elektrifikasi Indonesia sekitar 80,51%. Pada 2018, proporsi rumah tangga Indonesia yang telah menikmati sambungan listrik menjadi 98,30% dari total sekitar 68 juta rumah tangga. Itu berarti rata-rata ada penambahan sekitar 3,18 juta rumah tangga yang terinstalasi listrik per tahunnya.
Capaian rasio elektrifikasi yang sebesar 98,30% pada 2018 itu melampaui target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, 95,15%.
Berdasarkan capaian pada 2018, Kementerian ESDM berencana, sisa 1,70% atau sekitar 1,1 juta rumah tangga penduduk Indonesia akan menikmati aliran listrik pada 2020. Semoga saja Pandemi Covid-19 tidak menggeser pencapaian target tersebut.
Sayangnya, meski tinggal 1,1 juta rumah tangga yang belum mengakses listrik, proporsi golongan ini menumpuk di provinsi tertentu saja. Nusa Tenggara Timur (NTT), provinsi saya, adalah yang paling buruk rasio elektrifikasinya. Ketika di provinsi-provinsi lain rasio elektrifikasi antara 80an persen (Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau) hingga 100 persen (Bali), di  NTT hanya 62,07% rumah tangga yang sudah dialiri listrik. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional, sangat jomplang dibandingkan provinsi lain.
Ironisnya, NTT memiliki potensi sumber energi primer berlimpah. Dalam dokumen Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2019-2038 disebutkan, untuk energi primer panas bumi saja, ada potensi 629 MWe di 24 lokasi. Kementerian ESDM punya rencana listrik dari sumber-sumber panas bumi di NTT kelak dialirkan ke Jawa dan Bali. Wow, sementara di NTT proporsi rumah tangga yang belum teraliri listrik hampir 40 persen.
Itu baru soal listrik. Kita belum bicara coverage sinyal televisi, yang jangankan tv digital, siaran tv analogpun masih banyak desa tidak tercakup. Belum lagi bicara akses rakyat, kemampuan rakyat membeli televisi, apalagi jika harus membeli televisi jenis baru yang bisa menangkap siaran televisi digital tanpa perlu perangkat tambahan.
Seharusnya wajah pembangunan Indonesia yang bopeng-bopeng oleh ketimpangan ini sudah jadi pengetahuan umum para pejabat di kementerian. Bagaimana mereka bisa menyusun program yang menjawab kebutuhan rakyat jika mereka tidak mengerti medan?
Saya tidak bermaksud mengatakan Menteri Nadiem Makarim buruk karena ketidaktahuannya soal ini. Saya kira ia bukan satu-satunya menteri yang demikian, dan kelemahan ini tidak menghapus niat baik dan sejumlah terobosan yang sudah Pak Nadiem lakukan.
Tetapi penting kiranya memikirkan langkah ke depan agar menteri-menteri dan pejabat pemerintah, termasuk pejabat birokrasi, dibekali pemahaman tentang kondisi Indonesia agar tidak menjadi orang kagetan.
Untung saja para pejabat ini cuma kaget, tidak sampai cegukan, yang jika terjadi saat sedang makan bisa membahayakan nyawa mereka. Sungguh tidak enak terdengar dalam berita jika ada menteri meninggal karena keselek biji kurma gara-gara kaget mendegar informasi buruknya fasilitas pelayanan publik.
Mungkin yang perlu dilakukan pemerintah ke depan adalah menyusun kurikulum masa orientasi kepada setiap menteri dan pejabat. Seperti Ospek di sekolah dan kampus-kampus. Kepada mereka diperkenalkan kondisi Indonesia, medan kerja mereka.
Baca: Apakah Juche Hancur jika Kim Jong Un Meninggal?
Bahan Bacaan:
Kementerian ESDM. "Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2019-2038"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H