Tidak satupun manusia bebas persepsi subjektif. Karena syarat untuk bebas persepsi adalah berdiri di luar dunia material, melingkupinya dari segala sisi dimensi sehingga tak ada perisitwa dan entitas yang lolos pengamatan. Sayangnya, kita yakini hanya Tuhan yang bisa demikian.
Karena saya membedah Ekaristi Mario Lawi secara subjektif, Anda tak perlu takut komentar-komentar saya yang mungkin antagonis terhadap karya Mario akan mengecilkan jagoan Anda itu. Mario akan tetap luar biasa sebagai dirinya sendiri, tetap hebat di hadapan Anda dan banyak orang lain yang persepsi subjektifnya menyediakan ruang luas apresiasi terhadap genre karya Mario.
Membaca Ekaristi, Deja vu Tukang Kebun
Karena tidak memiliki disiplin ilmu dalam kritik sastra, yang saya lakukan adalah membaca rangkaian puisi dalam Ekaristi dan memeriksa kondisi batin saya selama proses itu. Yang terjadi, saya seperti mengalami deja vu pada suatu moment di Yogya, akhir 1998 atau awal 1999.
Saat itu Minggu siang sebubar perayaan misa, saya bertandang ke kontrakan para imam praja Katolik asal Flores yang sedang menempuh pendidikan lanjut di Yogya. Lokasinya di Mrican, tak berapa lama berjalan kaki dari gereja.
Kemudian... makan siang usai, piring-piring dibersihkan, coba mengusir bosan,saya meraih begitu saja buku yang tergeletak di meja. Tukang Kebun, karya Rabindranath Tagore. Sepertinya menjanjikan.
Kira-kira 30 menit berlalu, saya merasa kondisi batin yang kemudian terasa sama seperti ketika membaca Ekaristi saat ini. Kosong.
Adalah kebetulan, perjalanan Mario Lawi dari Memoria ke Ekaristi menyerupai perjalanan Tagore dari Tukang Kebun ke Gitanjali. Menurut mereka yang punya ilmu terkait, saya lupa membaca di mana, Tukang Kebun adalah karya berisi deklarasi cinta Tagore yang bercampur antara rindu-takjub pada Yang Ilahi dan berahi-mesra pada kekasih duniawi.
Sulit memastikan pada siapakah sebutan "Jelita Nakal" di sana diperuntukan, Tuhan yang Ukhrawi ataukah maitua duniawi. Tetapi pada Gitanjali yang datang kemudian, orang-orang berani menyimpulkan, adalah Tuhan semata yang dipanggil-panggil Tagore dengan rindu yang lebam.
Coba lihat Memoria Mario Lawi. Bukankah di sana bercampur ungkapan rindu yang profan dan yang sakral? Tetapi pada Ekaristi, setegas terjudul, kata-kata Mario memang diperuntukan pada Tuhan. Adalah kebetulan juga, Gitanjali (Nyanyian Persembahan) merupakan pelabelan kemasan yang tegas menelanjangi isi.
Tetapi bukan terkait hal di atas pengalaman saya bersama Ekaristi adalah dj vu Tukang Kebun. Sebagai penikmat amatir, ruang bermain saya pada pengalaman mental subjektif ketika membaca kedua karya. Membaca Ekaristi melahirkan suasana mental serupa mencerna Tukang Kebun. Setengah jam membaca Tukang Kebun, saya merasa kosong. Untaian kata indah Tagore tak menyinggahi hati.