Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kritik Mahfud MD terhadap Polri, Problem Inkompeten atau Partisan?

28 April 2020   16:56 Diperbarui: 28 April 2020   19:53 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menko Polhukam Mahfud MD [Kompas.com]

"Pelajaran untuk aparat kita menahan diri juga, kalau tidak ada bukti yang kuat, anggap saja itu sebagai kritik," Kata Menko Polhukam Mahfud MD menyikapi penangkapan dan penahanan Ravio Patra.[1] Syukurlah kali ini Pak Mahfud tidak lagi-lagi membenarkan tindakan salah aparat, kecenderungan baru beliau semenjak jadi menteri.

Tetapi apakah komentar yang mirip keluhan rakyat biasa itu layak datang dari menteri koordinator yang menggoordinasikan Polri? 

Bukan cuma kali ini polisi menuai kritik rakyat luas. Aksi asal main tangkap yang terkesan sebagai kriminalisasi terhadap rakyat yang memprotes policy pemerintah merupakan kejadian berulang.

Begitu pula oleh tindakan overacting dalam menghadapi demonstran  di lapangan, kepolisian terus-menerus dituding melanggar hak asasi manusia.

Di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, Polri bahkan tidak lagi berlindung di balik alasan ulah oknum. Tindakan kepolisian yang subjektif dan melenceng dari norma hukum kini bahkan menjadi tindakan resmi lembaga, diperintah langsung oleh Kapolri.

Melalui Surat Telegram Kapolri nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020, Jenderal Idham Azis memerintahkan seluruh jajaran kepolisian untuk melakukan penegakan hukum tindak pidana siber dan pemantuan opini di ruang siber terhadap penghinaan terhadap penguasa.

"Laksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi serta opini di ruang siber," sebagian bunyi instruksi kapolri kepada polisi di seluruh penjuru tanah air.[2]

Telegram itu patut dinilai sebagai pembangkangan terbuka Polri terhadap hukum, terhadap konstitusi.

Polri hendak menyeret para pengkritik kebijakan menggunakan pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa; memberlakukan pasal ini sebagai delik pidana umum. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 013-022/PUU-IV/2006 menjadikan pasal 207 KUHP sebagai delik aduan. Artinya polisi tidak boleh mempersangkakan seseorang dengan pasal 207 KUHP jika tidak ada pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang merasa dirugikan.

Pasal 207 KUHP bahkan tidak pantas lagi digunakan sebab tiga pasal karet sekawan yang mendampinginya, yaitu  Pasal 134,136, dan 137 KUHP sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK karena bertentangan dengan UUD 1945.

Gara-gara telegram ini, kritik keras datang bukan cuma dari kalangan aktivis, rakyat yang jadi korban, dan para politisi di kubu oposisi. Bahkan mantan Presiden SBY dan anggota DPR dari parpol pendukung pemerintah ikut-ikutan mengecam.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Nasdem, Ahmad Sahroni mengatakan ""Aturan ini berbahaya sekali. Karena kan kita tahu bahwa Pak Bareskrim dulunya ajudan Pak Jokowi. Ini berpotensi abuse of power. Nanti ada kritisi dikit, langsung ditindak polisi. Kita ini kan negara Demokrasi, masyarakat berhak dong untuk melakukan keritik kepada pemerintah."[3] 

Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan yang juga parpol pendukung pemerintah mengatakan "Kerja-kerja penegakan hukum yg menjadi kewenangan Polri tidak boleh melanggar prinsip due process of law, yakni jelas dasar aturannya dan prosedurnya dilakukan dengan benar."[4]

Mengingat praktik-praktik polri yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia terus terjadi, sudah saatnya Menko Polhukam Mahfud MD dan para politisi senayan tidak melulu melempar respon berupa pernyataan-pernyataan mengkritik, menyesalkan, dan mengecam. Reaksi-reaksi seperti ini adalah selemah-lemahnya upaya perbaikan. Tidak ada manfaat dan hanya mengulang apa yang sudah dilakukan rakyat.

Agenda reformasi Polri harus disegarkan kembali dan disegerakan.

Problemnya dari mana harus mulai?

Nah, untuk itu penyakit yang diidap Polri harus terlebih dahulu didiagnosis dengan jelas. Apakah problemnya inkompetensi personel Polri atau ada sebab lainnya.

Pada hari-hari lampau, Polri sebagai institusi akan dengan mudah mengkambinghitamkan anggotanya untuk setiap tindakan tercela. "Itu ulah oknum," demikian yang selalu disampaikan.

Jika pembenaran dengan dalih ulah oknum diterima begitu saja, maka kesimpulannya problem ada di kompetensi para personel. Personel tidak paham hukum acara, tidak mengerti pasal-pasal pidana, tidak melek hak asasi manusia, tidak punya jiwa menghormati demokrasi, jadi centeng perusahaan yang berkonflik dengan rakyat, atau tidak normal mentalnya.

Tetapi semenjak Kapolri Idham Aziz mengeluarkan telegram pemantauan opini ruang siber itu, ulah oknum dan inkompetensi personel tidak bisa lagi dijadikan kambing hitam. Kini jelaslah, problemnya terletak pada institusi, pada kepemimpinan Polri.

Apakah pemimpin Polri kurang kompeten? No way!

Jawabannya terletak pada tanggapan Kapolri Idham Aziz terhadap kritik publik. "Proses penegakan hukum memang tidak bisa memuaskan semua orang," kata Jenderal Idham Aziz.[5] 

Yap. Si Jenderal betul. Sayangnya satu-satunya yang ia puaskan adalah pihak penguasa, istana. Itu pun belum tentu istana merestui upaya pemuasan yang dilakukan Polri.

Jadi akar persoalannya adalah Polri telah diubah dari alat yang melayani kekuasaan negara menjadi alat pelayan penguasa. Kekuasaan negara dan penguasa adalah dua hal berbeda.

Kekuasaan negara adalah medan pertarungan banyak pihak. Ada pemerintah yang dibentuk atau didukung parpol-parpol; ada anggota parlemen yang merupakan perpanjangan parpol-parpol (dan para cukong pendana di baliknya); ada pula rakyat yang memanfaatkan instrumen kontitusional non-parlementer (mulai dari unjukrasa hingga judicial review produk hukum).

Buah dari pertarungan di medan perjuangan kepentingan itu adalah produk perundang-undangan dan kebijakan publik. Polri seharusnya mengabdi pada perundang-undangan yang jadi produk kekuasaan itu, produk pertarungan kepentingan-kepentingan itu.

Maka dikenallah istilah hamba hukum. Demikianlah polisi itu seharusnya di negera-negara moderen.

Sebaliknya penguasa itu subjektif. Ia adalah golongan paling dominan dalam medan pertarungan kekuasaan negara sebab merupakan kelompok yang sedang memerintah. Polisi tidak seharusnya menjadi pelayan kepentingan pemerintah.

Tetapi sepak terjang polisi Indonesia menunjukkan kecenderungan kuat partisan. Alih-alih menjadi pelayan kekuasaan negara atau pelayan hukum, polisi kita lebih tampak sebagai pelayan penguasa. Ini menyebabkan negara kita menunjukkan gejala menjadi negara polisional dan bonapartis.

Maka membebaskan polri dari semangat partisannya merupakan aspek mendesak dari agenda reformasi Polri. Inilah yang seharusnya Menko Polhukam Mahfud MD jadikan tugas pokoknya. Jadi tidak cukup jika Pak Mahfud MD cuma berseru-seru di media massa. Beliau sekarang menteri, bukan lagi guru hukum di universitas.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun