“Kartu Prakerja tidak hanya untuk mereka yang sedang mencari pekerjaan, namun juga buruh, karyawan dan pegawai. Pendeknya, semua warga bangsa yang berusia 18 tahun ke atas dan tidak sedang sekolah atau kuliah, boleh mendaftar.”
Baca juga: "Anehnya Pernyataan Stafsus Menteri BUMN tentang Mafia Pemaksa Impor"
Ini mirip program yang diperjuangkan Partai Buruh Selandia Baru sejak sebelum Jacinda Ardern memenangkan pemilihan Perdana Menteri pada 2017 silam.
Saat itu, saya baca dalam newsletter milik salah seorang anggota DPR dari Partai Buruh--salah satu dapil di Wellington||, partai itu memperjuangkan hak setiap buruh untuk mendapatkan jeda kerja selama 3 tahun guna menempuh pendidikan lanjut.
Buruh boleh mengikuti program dan jenis pendidikan apapun, mulai dari kursus profesional, pendidikan vokasi, hingga studi doktoral. Semuanya dibiayai penuh oleh negara, termasuk kompensasi upahnya.
Tujuan program tersebut adalah peningkatan daya saing kelas pekerja Selandia Baru di era globalisasi terkini dengan revolusi industri 4.0-nya.
Seperti ini pula kesan Program Kartu Prakerja jika mengikuti rumusan indah di websitenya. Jauh lebih maju dibandingkan program-program unemployment benefit negara-negara Eropa.
Tetapi sudah lazim di Indonesia, lain yang tertulis, lain tetek bengek persyaratan yang berlaku dalam kenyataan.
Dengan alasan pandemi Covid-19, pemerintah memprioritaskan program ini bagi calon pekerja kalangan milenial dan buruh korban PHK. Khusus untuk korban PHK, saat ini pemerintah sedang mengumpulkan data dari Kementerian Tenaga Kerja.[1]
Lihatlah! Para pekerja non-permanen sama sekali tidak dipedulikan.
Bagi pekerja nonpermanen—di Indonesia disebut buruh kontrak. Untuk buruh kerah putih sering diselubungi istilah manis, konsultan—problemnya bukan PHK melainkan setelah kontrak kerja yang lama habis masa berlakunya, kontrak baru tidak tersedia, baik di tempat kerja yang sama, atau peluang kerja baru di tempat lain. Oleh pandemi Covid-19, pabrik-pabrik dan lembaga-lembaga gulung tikar atau berhenti beroperasi untuk sementara waktu atau menunda sejumlah pekerjaan.
Tetapi program Kartu Prakerja sama sekali tidak menyasar pekerja nonpermanen dengan kesulitan yang khas ini. Persepsi para pembuat kebijakan hanya berkutat buruh permanen yang kena PHK, bertolak belakang dengan fundamental RUU Cipta Kerja.