“Bagaimana kabarmu selama ini? Kami sering omong tentangmu setelah Anda pergi yang kebetulan disusul kabar tentang pemberontakan di Gedangan. Bagaimana perasaanmu di hari-hari itu. Menurut saya, orang itu bertingkah gila-gilaan. Sekarang Gedangan dan itu tak punya akhir. “ -Kartini, surat kepada Rosa Manuela alias Mien, 9 Juni 1904.[1]
Keboan Pasar, Gedangan, Sidoarjo. Bulan Mei 1904. Hari itu selepas magrib, tanggal 27.
Para lelaki berani dan separuh putus asa, mencabut keris, menarikan jurus-jurus silat sambil berucap La ilaha ilallah. Tiga ratus orang jumlahnya. Di hadapan mereka, berbaris serdadu kompeni, siaga dengan bedil siap menyalak.
Tiga ratus lelaki menerjang maju, memekik. Peluru-peluru menyongsong mereka.
Tubuh-tubuh roboh. Darah tumpah membasahi pertiwi. Tiga puluh orang pergi hari itu juga.. selamanya. Kusuma bangsa gugur sudah. Tiga puluhan lainnya terluka. Bangsa ini mencatat pengorbanan mereka dalam memori kolektif yang tak lekang waktu.
Demikianlah kiranya pemberontakan petani di Gedangan, Sidoarjo, memuncak pada 27 Mei 1904. Itu pula saat perlawanan tani di bawah pimpinan Kyai Kiai Hasan Mukmin ini harus padam.Â
Tetapi spirit perlawanan mereka, hasrat bebas dari ketertindasan terus menyala, menjadi inspirasi bagi perlawanan rakyat Nusantara di hari-hari depan.
Sepeti kata Kartini, "Sekarang Gedangan dan itu tak punya akhir".
Zaman Anomali, 1900-1910
Tiada masa yang lebih aneh, penuh kontradiksi, dibandingkan dengan dekade pertama abad ke-20 di Indonesia. Ini adalah era baru di ujung masa liberal kolonialisme Belanda.
Tiga puluh tahun sudah (semenjak kaum liberal menguasai parlemen Belanda) tanam paksa berakhir. Di Jawa, para kapitalis pemilik perkebunan tebu dan pabrik gula membangun kontak langsung dengan para petani dan buruh, mengikat diri dalam relasi pengupahan.