Pada 17 September 1901, Ratu baru Belanda, Wilhelmina mencanangkan kebijakan politik etis, menjadikan gagasan Conrad Theodore van Deventer, si liberal pengagum Kartini itu, sah sebagai kebijakan negeri Belanda untuk rakyat tanah jajahan.
Baca juga: "Anehnya Pernyataan Stafsus Menteri BUMN tentang Mafia Pemaksa Impor"
Sekolah-sekolah berdiri, dibuka bagi anak-anak ninggrat, para pejabat komprador kolonial, hingga rakyat jelata.
Banyak perlawanan akbar sudah dipadamkan, tinggal sisa bara yang sebentar lagi redup. Tetapi saat yang bersamaan pemberontakan baru meletup di mana-mana.
Belanda yang di satu sisi berusaha menjadi lebih humanis, di sisi lain lebih bertangan besi. Ekspedisi militer di kirim ke Bali, Flores, Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi; memastikan pulau-pulau di Nusantara tunduk pada satu kesatuan administratif pemerintahan kolonial.
Di era ini pula, banyak surat kabar berdiri, demikian pula organisasi-organisasi moderen bersemangat kebangsaan yang mencita-citakan kemerdekaan Hindia Belanda.
Mungkin merupakan dampak pemulihan ekonomi dari resesi di akhir 1890an, Hindia Belanda yang beranjak moderen dan merengkuh lebih erat kapitalisme pada awal 1900an justru kian pahit bagi rakyat. Kelaparan dan wabah penyakit sama kejamnya seperti masa tanam paksa.
Di Jawa, termasuk Sidoarjo, upaya pemerintah kolonial memulihkan diri dari resesi ekonomi mewujud dalam penghisapan yang lebih kencang. Mungkin seperti saat ini, ketika resesi disiasati dengan kebijakan kelenturan pasar tenaga kerja yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.
Rakyat tani dipaksa menanam jagung dan ubi kayu. Kapitalis perkebunan gula menentukan sepihak harga sewa tanah untuk kebun-kebun tebu. Kapitalis pemilik pabrik gula memaksa petani menjadi buruh giling tebu. Di sisi lain, pembangunan irigasi sebagai salah satu janji politik etis jauh panggang dari api.
Dalam konteks inilah keresahan, amarah bercampur putus asa menjalari hati dan pikiran para petani di Sidoarjo.
Mereka mendiskusikan keresahan itu usai hajatan rutin pengajian-pengajian yang digelar tarekat  Qadiriyah-Naqsyabandia, di bawah kepemimpinan Kiai Hasan Mukmin.
Seiring proses, diskusi-diskusi membahas problem-problem tani meloncat secara kualitas, berubah menjadi rapat merencanakan pemberontakan. Tanggal 27 Mei 1904 dipilih sebagai hari melakukan perlawanan terbuka, bersenjata seadanya.