Pandemi corona menggila, di media sosial dan blog muncul para PNS, Positive News Samurai.
Mereka menulis beberapa kabar indah, sejumlah petuah hakuna matata. Tetapi berbeda dengan mereka yang tulus menebar kabar positif, para samurai upahan lebih sering mencaci-maki orang-orang yang dinilainya menyebar ketakutan dengan berita-berita suram pandemi. Mereka lupa, merekalah yang sedang menghancurkan negeri ini.
Note: yang namanya samurai pasti upahan. Kalau relawan ya ronin sebutannya, gak punya tuan.
***
Di masa orde baru, semuanya tampak baik-baik saja sebab cuma yang demikian itu yang boleh diberitakan saluran-saluran formal. Yang buruk-buruk hanya tersiar lewat bisik-bisik di pojok perkampungan, di puncak gunung-gunung, dan di pedalaman rimba.Â
Maka banyak orang menyangka kehidupan di sekitar mereka sungguh demikian berlakunya: baik, bahagia, manis, tentram, kenyang, sehat. Padahal yang tampak baik-baik itu hasil penapisan ketat terhadap banyak kabar benar yang pahit jika sampai ke telinga dan mata rakyat.
Media massa yang ngotot dengan idealisme mewartakan kebenaran di-breidel. Orang-perorangan yang nyinyir pada kekuasaan dijerumuskan ke balik jeruji; banyak pula yang lenyap, baik yang ditemukan jasadnya berkalang tanah, atau menguap seperti embun sambut siang, hilang begitu saja.
Widji Thukul, pekerja seni dan budaya yang hingga kini hilang tak tentu rimbanya---sebab janji menuntaskan kejahatan HAM masa lampau turut mati terserang corona dan hanyut oleh banjir---menyindir kondisi ini dengan puisinya, "Sungguh Enak Hidup di Televisi."
Agar tidak mengulangi konten banyak laman blog yang memuat bait-bait puisi tersebut, baiknya saya tampilkan sebagai gambar saja.
Simaklah.