Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menjadi Petani Kaya Sebagai Chain Activity Integrators (Bagian 3a)

13 April 2020   14:04 Diperbarui: 25 Juni 2020   21:46 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI. Buruh petik kopi di Kebun Kopi PTPN IX, Bawen Kabupaten Semarang [kompas.com/ syahrul munir]

Agar bertambah besar penghasilannya, petani perlu didorong untuk melangkah lebih jauh dari sekadar chain actors dan chain partners. Petani perlu menjadi chain activity integrators. Inilah pembahasan kita pada bagian 4 dari seri artikel "4 Level Petani dalam Pengembangan Rantai Nilai."

Agar tidak berpanjang kata, saya akan langsung masuk ke contoh.

Contoh pertama berasal dari kasus petani vanili di Alor, Nusa Tenggara Timur.

Pada artikel bagian pertama, "4 Level Petani dalam Pengembangan Rantai Nilai [Bagian 1]" saya telah menyajikan contoh bagaimana cara meningkatkan pendapatan petani vanili di Alor hanya dengan meningkatkan kapasitas mereka sebagai chain actors, tanpa mendorong peningkatan posisi ke level selanjutnya dalam pengembangan rantai nilai.

Tetapi kita tidak berhenti sampai di situ saja, bukan? Kalau ada peluang peningkatan kesejahteraan lebih tinggi lagi dengan menaikkan level petani dalam rantai nilai, mengapa tidak dilakukan?

Sebagai chain actors, petani  menjual vanili dalam bentuk whole pod basah, yaitu polong utuh tanpa curing.

Di Indonesia, harga cured vanilla pod berkisar 50-65 persen dari harga pasar dunia. Sementara harga vanili basah di tingkat petani adalah 5-14 persen dari harga cured whole pod di tingkat eksportir. Jadi saat harga vanili kering di pasar Rp 6 juta per kg, harga vanili basah di petani antara Rp 300.000 hingga Rp 850.000 per kg.

Di Alor, oleh kualitas vanilinya (kadar vanilin lebih tinggi dari vanili Madagaskar), harga vanili basah umumnya 65% harga kering jika dibeli langsung oleh perusahan eksportir (ada dua eksportir yang membeli langsung vanili ke petani di Alor), yaitu PT ASI yang berpusat di Klaten dan PT MIO di Jawa Barat. Kedua perusahaan ini memiliki etik fair trade dan karenya membeli vanili dari petani dengan harga yang pantas.

Tetapi jika petani kepepet dan terpaksa menjual ke pedagang vanili 'hit and run' ---yang terjun ke perdagangan vanili berdasarkan spekulasi harga, hanya berdagang saat mengetahui harga vanili naik-- harga yang diperoleh rendah saja, hanya berkisar 5%. Demikian pula jika petani terpaksa menjual kepada para ijon yang membeli saat vanili belum mencapai usia panen.

Para pedagang India menawar dengan harga moderat, lebih tinggi dari harga pedagang spekulan tetapi lebih rendah dari harga yang ditawarkan PT ASI dan PT MIO.

Seorang petani vanili dengan produksi cukup besar, Bapak Asamau di Bukapating menceritakan kepada saya, ia pernah melakukan pengeringan 38 kg vanili basah dan menghasilkan 8 kg vanili kering. Jika mengacu pada informasi Pak Asamau berarti dari setiap kilogram vanili basah dapat dihasilkan 21% cured vanilla pod.

Ini berarti saat harga vanili kering Rp 6 juta per kg, harga vanili basah seharusnya Rp 1.260.000. Bahwa harga vanili basah petani dihargai Rp 800.000 per kg menunjukkan nilai tambah yang dihasilkan dari aktivitas curing sebesar Rp 460.000 per kilogram.

Nah, selama ini nilai tambah dari penanganan pascapanen vanili (curing dan grading) dinikmati eksportir atau pedagang besar yang melakukan curing.

Pendapatan petani akan meningkat Rp 460ribu per kg jika mereka mengambil alih aktivitas curing vanili. Ketika petani melakukannya, level mereka di pengembangan rantai nilai naik menjadi chain activity integrators, sebab mereka mengintegrasikan aktivitas pada mata rantai lebih hilir (handling: curing dan grading) menjadi aktivitas mereka, bukan lagi di tangan pedagang.

Integrators juga bermakna petani melakukannya sebagai kolektif, bukan aktivitas individual.

Hal ini karena aktivitas di mata rantai lebih hilir umumnya membutuhkan volume produk lebih besar (yang tidak tercukupi jika bersumber dari hasil panen seorang petani saja) agar bisa mengimbangi investasi peralatan dan sumber daya. Hal ini berkaitan dengan komposisi kombinasi sumber daya yang optimal.

Contoh sederhananya begini. Alokasi waktu seorang petani untuk curing 50 kg vanili basah menjadi vanili 10 kg  vanili kering adalah 4 jam per hari selama 12 hari. Itu artinya nilai tambah sebesar Rp 4 juta harus dibagi biaya kerja 48 jam. Padahal jika waktu kerja yang diberikan petani bisa ditekan---dan ia bisa mengerjakan hal lain--, maka keuntungannya menjadi kian besar.

Cara untuk meningkatkan keuntungan dari curing adalah dengan mengorganisasikan diri, melakukannya sebagai kolektif.

Jika 10 petani bergabung, curing 500 kg vanili hanya butuh jumlah tenaga kerja (artinya jumlah orang dan jam kerja) yang sama dengan curing 50 kg, yaitu seorang petani selama 4 jam per hari selama 12 hari. Jika menggunakan sistem piket kerja, seorang petani hanya mengalokasikan 4,8 jam untuk aktivitas pascapanen. Ia dapat menggunakan waktu untuk pekerjaan lain di kebun.

Contoh lain adalah ketika petani harus membeli oven sebagai pengganti pengeringan oleh panas matahari. Jika oven hanya untuk mengeringkan hasil panen sendiri, investasi tersebut akan mahal dan oven lebih sering tidak terpakai. Dengan berhimpun dalam kelompok, pembelian oven menjadi ekonomis.

Pembangunan asosiasi petani dalam konteks ini juga berfungsi untuk meningkatkan posisi tawar di hadapan pedagang. Jika hanya 1-2 orang petani melakukan curing, sementara mayoritas petani masih menjual vanili basah, pedagang memilih membeli vanili basah sebab mereka bisa mendapatkan lebih banyak keuntungan.

Nah, agar tidak terlalu panjang, pembahasan soal ini kita hentikan di sini dulu. Senin depan kita akan membahas contoh petani sebagai chain activity integrators untuk konteks percabangan komoditi, yaitu ketika dari satu komoditi asal, petani melakukan aktivitas handling dan processing untuk menghasilkan sejumlah komoditi turunan. Kita akan mengambil contoh kasus petani kemiri di Alor.

Sampai ketemu Senin pekan depan.

Baca kumpulan lengkap seri "4 Level Petani dalam Value Chain Development"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun