Menyadari Jerman akan mengalahkan Perancis, OSE memikirkan taktik penyelamatan anak-anak. Jika tetap berada dalam rombongan besar, mereka akan mudah ditemukan tentara Nazi dan Gestapo.
Baca juga: "Pening Membaca Permenkes PSBB, Jangan-Jangan Salah Ketik Lagi"
Ada usulan agar anak-anak dititipkan di gereja Katolik, menyamar sebagai anggota paduan suara gereja.
Usulan ini tentu mendapat penolakan.
“Anak-anak itu sejak kecil dididik orang tua mereka untuk menjauhi hal-hal yang diharamkan. Menitip mereka di sekolah Katolik tentu akan membuat mereka merasa berdosa,” kata salah seorang.
Tetapi kolektif akhirnya setuju pada usulan taktik penitipan tersebut.
Dalam penyamaran sebagai pelajar di asrama dan sekolah Katolik, anak-anak Yahudi berlatih bernyanyi Ave Maria, pujian untuk Bunda Maria, Ibunda Tuhan Yesus.
Hal ini mengingatkan saya pada kondisi kini.
Demi keselamatan umat manusia dari kepunahan oleh pandemi Covid-19, kegiatan keagamaan dilarang diselenggarakan dengan melibatkan banyak orang. Hal ini terjadi di Indonesia dan di seluruh dunia.
Maka Umat Kristiani (Katolik, berbagai aliran Protestan, Ortodoks dan Koptik) tidak merayakan Paskah dalam misa di gereja. Padahal ini adalah momentum pekan suci, 4 hari (Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Haleluya, dan Minggu Paskah) umat Kristiani, terutama Katolik, beribadah di gereja.
Di NTT, selama sebulan menjelang paskah, umat menyelenggarakan berbagai kegiatan sosial dan rohani. Ada jalan salib, pawai paskah, seta beragam pertandingan olahraga dan bakti sosial di tengah komunitas.
Dalam kondisi normal, di desa-desa--entahlah dalam 10 tahun terakhir ini, apakah masih sama--, sudah sejak hari minggu Palma, menjelang pekan suci, orang-orang datang ke pusat paroki, tinggal bersama keluarga mereka agar bersama-sama merayakan rangkaian misa selama pekan suci.