Andai itu sudah berlaku, maka kini tidak ada kendala ketika pemberlakukan isolasi (lockdown a la Tiongkok), karantina (lockdown a la Eropa) atau pembatasan sosial.
Ketersediaan, sistem, mekanisme dan aparatus pemasaran terencana beras sudah melembaga. Tinggal ubah untuk sementara fungsi depo-depo itu dari mata rantai pemasaran menjadi aparatus distribusi.
Apakah kini sudah terlambat menerapkan sistem perdagangan beras a la ekonomi terencana gaya Buwas?
Untuk konteks penanganan Coronavirus, iya. Tetapi ini bisa segera diterapkan nanti, setelah kondisi kembali pulih. Semoga para pemimpin negeri ini cukup bijak untuk belajar dari pengalaman.
Untuk sekarang, ketua-ketua RT bisa dijadikan mata rantai paling ujung saluran distribusi beras di kota-kota, terutama pada komunitas yang diisolasi atau dikarantina. Asalkan dipastikan setiap kapita terdata dalam sistem.
Caranya? Ya sesegera mungkin instruksikan perangkat RT mendata setiap individu, siapapun yang berdomisili di RT tersebut, baik punya rumah di sana atau cuma kos-kosan, pun numpang tidur.
Siapkan pula sistem pengaduan yang responsif, di-back up tim reaksi cepat, agar warga masyarakat bisa mengadukan penyimpangan distribusi oleh perangkat RT. Bila perlu tetapkan ancaman pidana kurungan seberat-beratnya bagi perangkat RT yang tidak punya moral, mencari untung dari kondisi genting ini.
Tetapi kalau masih santuy, masih berharap rakyat yang sudah kehilangan sumber pendapatan untuk membeli sendiri beras di warung-warung, ya itu namanya sengaja memancing kerusuhan.
Jangan lupa, lho, sistem pendataan penerima BLT dan segala macam kartu pengaman sosial itu cacat! Banyak orang yang seharusnya mendapatkan manfaat---kian banyak jumlahnya oleh kondisi krisis ekonomi dan pandemi ini---tidak terdata.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H