UU 6/2018 pasal 93 mengatur bahwa "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."
Mungkin karena ketiadaan perturan pemerintah sebagai syarat operasional UU 6/2018, polisi memilih menggunakan KUHP pasal 212, 216, dan 218.
Persoalannya, pasal-pasal tersebut adalah pidana umum terkait perlawanan terhadap petugas atau otoritas publik, dan menuntut peran aktif kepolisian. Dengan keterbatasan jumlah personel polisi, pasal-pasal KUHP tidak akan efektif menegakkan pembatasan sosial.
Karenanya, yang diperlukan adalah operasionalisasi UU 6/2018 dengan peraturan yang memungkinkan pemberian sanksi pidana terhadap para pihak yang tidak melaksanakan pembatasan sosial tanpa harus menunggu kedatangan polisi untuk menertibkan.
Apa yang dilakukan di Singapura bisa menjadi contoh. Di negeri itu, pengusaha yang tidak melaksanakan pembatasan sosial, misalnya tidak mengatur jarak antrian atau jarak tempat duduk, dikenakan sanksi pidana.
Tetapi jangan dilupakan, sebelum penegakan hukum dilakukan, pemerintah perlu pula mengatur secara jelas batas-batas pembatasan sosial. Misalnya secara jelas menyebutkan jumlah minimal kumpulan orang-orang yang tidak diperbolehkan. Contohnya tidak membolehkan kegiatan yang melibatkan 5 orang dalam satu ruangan ukuran sekian kali sekian. Begitu pula jenis-jenis kegiatan yang dilarang perlu disebutkan secara jelas.
Perlu pula dipertimbangkan pelibatan perangkat sosial kemasyarakatan, semisal Ketua RT dan pemuka agama untuk menegakkan pembatasan sosial. Tidak sekadar minta mereka menyosialisasikan atau menghimbau masyarakat. Ketua RT dan pemuka agama perlu diberikan wewenang untuk membubarkan kegiatan-kegiatan informal di pemukiman-pemukiman warga yang dinilai tidak menerapkan pembatasan sosial.
Sepemantauan saya, ketika kampus-kampus meliburkan diri, cukup banyak tercipta kumpulan kongkow-kongkow di kos-kosan mahasiswa. Apa gunanya pembatasan sosial di ruang publik jika kemudian pelanggaran terhadap pembatasan sosial terjadi pula di "ruang privat."
Penegakan hukum terhadap pembatasan sosial tentu akan mengundang polemik. Tetapi pembatasan sosial adalah keharusan dalam memerangi virus corona hingga sudah ditemukan vaksin dan setiap warga negara mendapat vaksinasi.
Mau tidak mau, sebagai warga negara kita perlu menyerahkan sebagian kebebasan kita, merelakannya terenggut sementara. Ini jauh lebih baik bagi kepentingan bersama dibandingkan jika kita harus menerapkan lockdown.
Tanpa penegakan pembatasan sosial, lockdown akan jadi keniscayaan. Dan sumber daya kita, tidak akan sanggup menanggung beban pemberlakuan lockdown. Oleh lemahnya kelembagaan distribusi barang-kebutuhan dalam kondisi darurat, pemberlakuan lockodown akan berujung anarki.