Satu hal yang perlu kita apresiasi adalah laju pertumbuhan kasus baru penularan virus corona di negeri kita melambat. Dalam 6 hari terakhir (22-27 Maret), pasien positif corona bertambah antara 12,65% (terendah, 23 Maret) hingga 18,48% (tertinggi, 24 Maret). Sebelum periode ini, pertumbuhan pasien baru di atas 21%, bahkan pada 19 Maret mencapai 36,55%.
Meski penularan mengalami pelambatan, belum saatnya kita bernapas lega. Pertama karena rapid test belum dilakukan di semua wilayah. Pada provinsi dan kota./kabupaten yang telah melakukan rapid test pun hasilnya belum keluar. Ada potensi besar angka tertular melonjak tajam pasca-rapid test.
Kedua, meski pertambahan kasus baru melambat, tetap saja pertambahan jumlah penderita memberi beban besar di hilir, yaitu di rumah sakit-rumah sakit yang merawat pasien covid-19.
Tingginya tingkat kematian (CFR), rata-rata 8,37% dalam 6 hari terakhir menunjukkan bahwa kelemahan utama kita terletak di hilir, yaitu pada penanganan pasien kritis. Hal ini bisa jadi terkait keterbatasan fasilitas, seperti ketersediaan ventilator, dan tenaga perawatan di rumah sakit.
Karena itu, selain meningkatkan kapasitas rumah sakit-rumah sakit dalam penanganan pasien kritis Covid-19; pembatasan sosial untuk mencegah penularan wajib diperketat agar laju penularan bisa diperlambat lagi.
Problemnya, tingkat kepatuhan warga terhadap pembatasan sosial masih rendah. Di banyak tempat, kumpulan orang-orang masih terjadi; pengkondisian jarak aman di sejumlah tempat publik belum ditegakkan. Dalam artikel "Repotnya Berobat di RS Kala Invasi Corona" saya menyinggung kondisi di rumah sakit spesialis mata di Kota Kupang yang para pasien dan pengunjung masih duduk berhimpitan. Semoga saja sekarang pengaturan jarak duduk di sana sudah ditegakkan.
Kasus pemukulan warga terhadap polisi yang menghimbau pembatasan sosial di kedai kopi di Aceh (1) menunjukkan bahwa problem tidak cuma terletak pada rendahnya kesadaran mematuhi seruan pembatasan sosial tetapi ada kecenderungan pembangkangan, meski bukan pembangkangan aktif seperti di Meksiko dan Brazil.(3, 4)
Sedikit catatan, WHO menyarankan penggantian istilah social distancing dengan physical distancing. Tetapi UU kita, misalnya UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan menggunakan istilah pembatasan sosial. Karena itu, saya lebih senang taat pada istilah yang sudah dinyatakan dalam undang-undang.
Nah, oleh masih rendahnya kepatuhan terhadap himbauan, bahkan telah muncul perlawanan terhadapnya, patut kiranya pemerintah mempertimbangkan agar himbauan dan penyadaran pembatasan sosial disertai pula penegakan hukum berupa sanksi pidana kurungan atau denda terhadap para pihak yang tidak mematuhinya.