Misalnya Trachoma. Ya, bagaimana jika itu? Cemas bermain-main dalam hati, mengabaikan seruan ratio yang minta mengecek dahulu apakah gejalanya menunjukkan ke sana atau bukan.
Di sisi lain, membawa anak memeriksa ke dokter di rumah sakit pada hari-hari ini, saat coronavirus tiada henti menghiasai halaman depan surat kabar; memonopoli detik-detik di televisi; mengotori linimasa media sosial dan notifikasi website kabar daring, adalah seumpama mencampur kemeja sekolah ke sekeranjang kain tenun yang baru pertama kali akan dicuci.
Bagaimana jika saat berada di sana ia akan terjangkit coronavirus? Bagaimana jika sebaliknya saya dan dirinya -andai sial tubuh kami telah mengandung coronavirus- menjangkiti orang lain di sana?
Setelah banyak timbang, akhirnya diputuskan, saya membawa anak ke rumah sakit mata, tetapi dengan segala upaya yang mencegah kemungkinan tertular atau menularkan corona.
Siang hari saya terlebih dahulu mencari rumah sakit atau klinik mata yang sepi; mengecek jadwal dokter; lalu mendaftarkan anak saya. Dengan begitu kami tidak akan terlalu lama berada di rumah sakit dan tidak banyak berjumpa orang-orang.
Rumah Sakit khusus mata Kartini di Jalan Frans Seda jadi pilihan. Di siang hari tidak banyak pasien yang tampak di lobbi. Entahlah sore nanti. Dokter mata akan berpos di sana pukul 18.00. Saya mendaftarkan anak saya; lalu segera menjemputnya sebab tinggal 30 menit lagi sebelum pukul 18.00
Sebelum berangkat, kami melengkapi diri dengan alat dan bahan perlindungan diri: tisu basah berkandungan alkohol, hand sanitizer masing-masing sebotol; masker.
Di halaman rumah sakit, saya kasih ingatkan anak saya agar selalu menempatkan tangannya di dalam kantong celana. Itu untuk meminimalisir ia menyentuh barang-barang di rumah sakit. Saya pun selalu mengingatkan diri untuk hanya menyentuh hal-hal yang wajib disentuh.
Persis di pintu masuk, ada petugas yang mengecek suhu tubuh kami, lantas mempersilakan membersihkan tangan dengan cairan pembersih mengandung alkohol.
Suhu tubuh saya 35 derajat Celcius; anak saya 34,5. Bahu kami ditempeli stiker bersimbol bebas coronavirus.
Meski memuji si petugas, dalam hati saya tersenyum sambil mengomel kecil: mereka pikir kalau suhu tubuh saya normal, saya bersih virus corona.